Lihat ke Halaman Asli

Mengubah Paradigma Masyarakat Terhadap PGSD

Diperbarui: 17 Juni 2015   12:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Banyak orang yang menepatkan guru SD sebagai presepsi kepribadian anak,kebanyakan orang menganggap baik atau buruknya anak tergantung pada bagaimana seorang guru SD mampu mewadahi peserta didiknya menjadi siswa yang berkarakter. Sehingga semua urusan masalah anak dititik beratkan pada Guru SD. Eksistensi pendidikan Guru sekolah Dasarpun akhirnya ikut andil dalam proses pencapaian beban dari elemen masyarakat tersebut. Sehingga Sebagai calon guru SD selalu berusaha mengupayakan usaha keprofesionalan semata.

Mahasiswa PGSD, Matrealistis atau Panggilan Jiwa?

Banyak sekali cemooh dari berbagai elemen masyarakat tertentu yang menganggap mahasiswa PGSD adalah materialis semata. Dengan kasus isu-isu pensiun masal guru SD pada sekitar tahun 2017 membuat membludaknya mahasiswa yang mendaftar di PGSD diberbagai macam universitas. Begitupula di Universitas yang saya jejaki ilmunya sekarang ini (univ di Solo), PGSD juga merupakan prodi yang paling diminati dibandingkan dengan prodi lain. tidak mampu dipungkiri lagi pendaftaran mahasiswa PGSD begitu ketat dan sangat sulit.

Entah bagaimana prespektif mereka dalam membentengi tujuan yang Haqiqi untuk benar-benar menjadi guru SD .Apakah amunisi tujuan mereka adalah benar ingin mengabdi atau hanya materialis saja? Apalagi sertifikasi guru yang memang benar-benar menggiurkan bagi seluruh mahasiswa keguruan, tak lain jugamahasiswa PGSD. Kalaupun tujuan mereka hanya meterial saja? Lantas apakah niat mereka untuk pengabdian pada negara telah usang?

Tidak, meskipun tujuan utama mereka awalnya memang materialisasi, namun dengan adanya pembelajaran matakuliah berlangsung di PGSD akhirnya mampu menjadikan mahasiswa lebih peka lagi terhadap pengabdian. Kasus ini justru dialami oleh saya sendiri beserta teman-teman saya yang notabene juga sedang menempuh kuliah di PGSD, banyak dari teman-teman saya dulunya di SMA mempunyai nilai akademi yang baik, sehingga sebenarnya untuk masuk di jurusan MIPA atau kesehatanpun sebenarnya mereka mampu, tapi karena mereka dipaksa orang tua untuk melanjutkan kuliah di PGSD dengan iming-imingan sertifikasi dan pensiun masal, maka teman-teman banyak yang mengiyakan kemauan orangtuanya. Namun secara lambat laun, dengan adanya mata kuliah dan motivasi-motivasi dari dosen PGSD, saya beserta teman-teman saya akhirnya mampu merubah tujuan utama itu dan memosisikanya menjadi tujuan akhir, ya karena memangsekarang selintas pandangan dan tujuan kami adalah “kami ingin mengabdi, kami ingin membangun negeri, dan kami ingin mencerdaskan anak-anak pertiwi” . sehingga dapat ditarik kesimpulan, dosen PGSD mampu merubah mindset kami dalam upaya perubahan paradigma kematrialisasian menjadi kepekaan terhadap negara.bukankah pada hakikatnya sebuah kebaikan itu harus dilakukan dengan melalui titik proses terlebih dahulu? Dan bukankah untuk membentengi diri untuk mengabdikan diri harus melalu proses melawan ego pribadi?

“Calon Guru SD kok seperti itu? “

Kepribadian teman sekelas saya (PGSD) sangat beranekaragam, meskipun basic kita sebenarnya dituntut untuk menjadi guru SD, yaitu guru peletak pondasi paling dasar, namun kita mahasiswa PGSD mempunyai kepribadian yang bermacam-macam, ada yang pendiam ( apakah iya guru SD yang tugasnya menjelaskan didepan murid-muridnya tidak mudah bersosialisasi dan pendiam?), ada yang petakilan (baca: kebanyakan gaya) bahkan ada yang tidak layak dikatakan sebagai guru SD sekalipun. Itulah yang terbesit dipikiran saya?” Apakah iya kita layak dikatakan Calon guru sekolah dasar?”

Sayapun merenungkan sejenak pertanyaan seperti itu, hingga akhirnya saya menemukan pepatah “life must go on “. ya kehidupan harus terus berjalan. jangan memandang seseorang dari satu sisi, masih banyak sisi yang harus diperhatikan. Begitu juga dengan mindset saya, saya yakin , dengan berjalannya waktu lambat laun saya beserta teman-teman pasti mampu untuk menjadi pribadi pendidik yang profesional. Meskipun pendalaman ilmu kami masih bau kencur, tapi semangat mengemban amanat itu akan selalu terjaga demi terciptanya pedidikan yang lebih maju lagi.

Pernah saya membaca sebuah artikel yang meblacklist mahasiswa PGSD, hanya karena mahasiswa PGSD ada yang ketahuan mencontek ketika ujian, sehingga eksistensi dan lembaga pendidikan PGSD dipertanyakan oleh pembaca dengan argumen calon guru SD saja mencontek bagaimana dengan siswanya besok?. Secara penalaran dan bantahan argumen saya terhadap artikel tersebut ,menanyakan apakah hanya dengan sebuah kasus pencotekan yang dilakukan satu orang calon guru SD mampu membias seluruh kebaikan dan niat calon guru SD yang sejatinya benar-benar ingin mengabdi untuk bangsa? Bukankah tolak ukur kita tidak boleh pada satu sisi saja? Seperti yang saya jabarkan diatas bahwa dari ratusan mahasiswa PGSD,semua mempunyai karakter yang berbeda-beda, jadi haram bagi kita untuk memandang pada satu kejelekan saja sehingga menghapus pandangan baik mereka.

Sebenarnya kepribadian anak usia SD itu tidak hanya menjadi tanggung jawab guru SD saja, namun orangtualah yang menjadi pondasi utama dalam pembentukan karakter mereka, sedangkan guru SD hanya sebagai subjek kedua yang ikut andil dalam penyempurnaan karaketer anak setelah orang tua.

Guru SD bukanlah pahlawan satu-satunya pendidik bangsa, namun kemauan pribadi kitalah pendidik bangsa sesungguhnya .

Kemauan merupakan pintu utama dalam pembangunan sebuah niat dan keikhlasan.

Solo, 22 januari 2015 pukul 22:17

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline