Lihat ke Halaman Asli

Sendiri Bukan Berarti Tak Berani

Diperbarui: 23 Agustus 2023   08:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Begitu banyak kata-kata penenang yang Ayah sampaikan untukku sejak kemarin. Banyaknya kata penenang, tak membuatku tenang. Rasa kegelisahan terus menghantuiku kemanapun aku berjalan. Pikiranku terus melayang entah kemana ia terbang, mataku memancarkan sinar redup sejak seminggu yang lalu. 

Ayah akan berangkat untuk bertugas di pelosok desa Papua, di sana ada masalah yang cukup serius. Entah sudah berapa banyak hembusan nafas yang aku keluarkan, meskipun tak mengurangi kerumitan di kepalaku ini. Banyak Doa yang aku panjatkan agar Ayah bisa pulang kembali dengan selamat sampai rumah ini lagi.

Menjadi abdi negara mungkin menjadi impian beberapa manusia, termasuk Ayahku. Beliau sudah banyak menggali informasi tentang dunia Kemiliteran sejak kecil. Ayah sangat tertarik dengan senjata-senjata panjang maupun pendek, senjata beracun maupun tidak beracun. 

Aku memang sering sekali ditinggal Ayah untuk bertugas. Mulai dari keluar kota, keluar pulau, atau bahkan keluar negeri. Setiap Ayah berpamitan untuk bertugas, perasaan gelisah terus muncul dalam diriku. Entah mengapa aku benar-benar takut untuk saat ini. Aku sendiri. Hanya ada aku di dalam rumah ini hari esok. 

"Anak Ayah yang hebat ini jangan melamun terus, nanti kalau tiba-tiba ada lalat masuk mata nggak berasa deh." Itu, Ayah. Tangannya membawa dua cangkir, yang aku tebak isinya adalah teh pahit yang sama sekali tidak diberi gula. Kebiasaan Ayah sejak dulu, meminum teh pahit sehari sekali. Sekarang tradisi itu diturunkan ke diriku.

"Jangan sedih-sedih, nak. Ayah janji, Ayah akan pulang dengan selamat tanpa kurang satupun. Tugas kamu itu cuman berdoa, agar Ayah bisa pulang kembali." Tangannya mengelus rambutku. 

Bibirku terasa kelu, banyak kalimat yang ingin aku sampaikan tetapi rasanya aku tercekat. Mataku memanas. Aku tak berani menatap wajah Ayah.

"Anak Ayah kan sudah sering Ayah tinggal untuk bertugas. Bahkan, ditinggal Bunda bertugas di luar kota pun kamu bisa. Jangan nangis ah, masa cengeng sih anak Tentara."

Aku berusaha mengutarakan candaan, "aku nggak nangis, Yah. Mataku hanya perih."

Ayah terkekeh, kepalanya menggeleng pelan. "Jangan pernah menyesal ya, Ra. Jangan pernah mengeluh karena menjadi anak yang jarang bertemu dengan orang tuanya. Ayah tau itu semua nggak mudah, tapi Ayah yakin kamu bisa."

Aku memberanikan menatap wajah damai milik Ayahku yang hebat ini, "Ayah bertugas untuk menjaga Negera ini, menjaga masyarakat, termasuk menjaga kamu dan Bunda. Bunda bertugas untuk mengobati orang sakit, membantu orang melawan penyakitnya. Kami sama-sama ingin membantu orang lain. Kamu tau itu kan? Jangan pernah merendah karena jarang bertemu dengan orang tua."

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline