Lihat ke Halaman Asli

Rais Muhammad KS

seorang guru yang menyukai Hujan, Kopi dan Buku

Pendidikan untuk Semua

Diperbarui: 30 September 2015   14:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Unesco, salah satu badan dunia di bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), telah lama mencanangkan konsep pendidikan untuk semua (education for all).
Dalam konsep ini, secara makro pendidikan haruslah menyentuh seluruh lapisan masyarakat, dari masyarakat lapisan atas hingga laipsan bawah. Jadi, pendidikan bukan monopoli kalangan berpunya saja, melainkan juga menjadi hak kalangan marjinal.

Secara mikro, implementasi pendidikan untuk semua ini berdada di ranah kelas, di mana pendidikan harus mampu mengakomodasi segenap anak didik dengan karakeristik individualnya yang beragam. Guru tidak hanya melayani anak-anak cerdas saja, melainkan juga anak-anak yang terbilang agak lambat dan butuh perhatian khusus. Tidak pantas kalau anak-anak yang agak berbeda dengan anak-anak pada umumnya lalu dikucilkan dan dinafikan begitu saja. Anak-anak ini tetap butuh sentuhan motivasi, sentuhan kasih sayang dan sentuhan-sentuhan edukatif lainnya agar mampu berkembang sesuai minat dan bakat alaminya.

Persoaalannya, sudahkah konsep tersebut di atas menjadi urat nadi pelaksanaan pendidikan di sekolah kita?

Jujur saja, kita masih harus banyak berbenah. Kita masih melihat fakta adanya anak yang tak bisa masuk sekolah karena tidak punya beaya. Seorang ibu penjual jamu di Bawean mesti membeli kursi sendiri demi anaknya agar bisa duduk di ruang kelas. Ada anak yang telah beberapa tahun menamatkan pendidikannya di sebuah sekolah menengah tapi ijazahnya tersandera karena tak mampu menebus uang ujian. Pendek kata, pendidikan hingga kini masih menjadi barang mahal bagi kalangan masyarakat miskin.

Dalam ruang kelas, betapa gamblang kita lihat potret pembelajaran yang berusaha menyeragamkan siswa. Keberhasilan belajar diukur hanya dari kemampuan matematika, bahasa dan ilmu sosial, dengan melenyapkan penghargaan atas kemampuan-kemampuan kreatif, kesenian dan potensi inovasi. Keberhasilan dikerdilkan hanya menurut angka-angka rigid tes pilihan ganda, tanpa apresiasi terhadap keunikan individu, orisinalitas ide, dan keragaman persepsi.

Baju boleh diseragamkan, tapi kalau karakteristik individual anak didik kita juga diseragamkan, pasti akan ada yang terdepak dari singgasana pendidikan. Anak-anak tertentu saja yang dikatakan berhasil, sedangkan anak-anak lain dikatakan gagal. Alangkah merananya anak-anak yang secara kebetulan punya bakat yang berbeda dengan yang dimaui oleh pemegang otoritas pendidikan.

Apakah anak-anak yang ”cerdas” pasti berhasil dalam hidupnya? Dan apakah anak yang ”lambat” pasti gagal dalam hidupnya? Banyak fakta menunjukkan vonis berhasil dan gagal tidak dapat diambil sejak dini saat mereka ada di bangku sekolah.

Kalau begitu, kenapa kita mesti meratapi anak-anak yang ”lambat” seraya meninggalkannya begitu saja? Sedangkan anak-anak ”cerdas” kita ajak berlari sekencang-kencangnya bersama kita.

Kalau kita kembali dengan konsep dari Unesco di atas, sebagai guru, marilah kita bersama-sama mendampingi semua anak didik kita berkembang sesuai dengan minat, bakat dan kemampuannya. Istilah ini juga telah diadopsi dalam undang-undang sistem pendidikan kita, UU No 20 Tahun 2003. Apakah kita lupa?

Akhirnya, marilah kita kembali berkomitmen bahwa pendidikan untuk semua, bukan untuk kalangan tertentu atau segelintir anak tertentu.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline