Oleh: Raisma Dewi Nur Cahyani
UNIVERSITAS AHMAD DAHLAN
Hari ini tepat 2 bulan 3 hari setelah Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Piyungan kembali dibuka. Surat edaran penutupan TPST Piyungan oleh Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta yang dimulai pada tanggal 23 Juli 2023 hingga 5 September 2023 silam ini, tepat berlangsung selama 45 hari. Penutupan TPST Piyungan yang dikelola oleh Balai Pengelolaan Sampah, Dinas Lingkungan Hidup, dan Kehutanan DIY ini bukan tanpa alasan. Di atas tanah seluas 12,5 hektar sampah-sampah yang datang dari tiga wilayah: Sleman, Bantul, dan Kota Yogyakarta semakin meningkat dari tahun ke tahun.
Mengutip warta.jogjakota.go.id, data terbaru menyebutkan bahwa sampah yang masuk ke TPST Piyungan mencapai 850 ton per hari. Akibatnya TPST ini mengalami overload kapasitas dan hal itu yang menjadi alasan Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta mengambil keputusan untuk menutup sementara TPST Piyungan. Imbas dari ditutupnya TPST Piyungan tentu sampah-sampah dari tiga wilayah tersebut mengalami kendala penampungan. Benar saja, belum lama penutupan TPST Piyungan berlangsung, dengan mudah bisa kita jumpai tumpukan-tumpukan sampah di tempat yang tidak semestinya; di sungai, pinggir jalan/trotoar, lahan pekarangan kosong milik perseorangan dengan mudahkan disulap menjadi Tempat Pembuangan Akhir (TPA) oleh oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab.
Kendati demikian, meski TPST Piyungan sudah kembali beroperasi yang mana tentu segala lini pekerja petugas kebersihan sudah kembali aktif menjalankan tugas masing-masing, imbas yang diakibatkan dari keputusan penutupan tersebut masih dirasakan sampai saat ini, perilaku masyarakat contohnya. Kebiasaan membuang sampah dilakukan justru secara terang-terangan di depan umum tanpa rasa malu dan bersalah sedikitpun. Ketidakpedulian orang untuk menegur semakin menjadikan aktivitas membuang sampah sembarangan itu menjadi sulit untuk dihentikan dan lambat laun menjadi sebuah kebiasaan, meski TPS sudah dibuka.
Walaupun sudah ada aturan larangan membuang sampah sembarangan, mereka tetap melakukannya. Bahkan ketika tempat itu sudah dibersihkan, sampah sudah dikondisikan, masih saja ada oknum-oknum yang kembali membuang sampah di tempat itu. Bahkan sampah-sampah tersebut banyak yang berserakan hingga menutupi setengah badan jalan. Kondisi ini tentu sangat memprihatinkan. Mereka tidak memperdulikan akibat ulah buruk tersebut, misalnya membuat tempat itu berbau dengan lalat yang beterbangan dan merampas hak pengguna jalan. Bahkan dampak keberlanjutan dari budaya membuang sampah sembarangan itu berpengaruh besar terhadap para pelaku usaha disekitar tempat yang dipergunakan untuk membuang sampah tersebut. Jangankan mampir beli, untuk lewat daerah tersebut pun ada keengganan. Tentu hal itu berdampak terhadap penghasilan.
Tentu besar harapan masyarakat kepada pemerintah dan pihak-pihak yang ikut andil dalam pengambilan keputusan penutupan TPST Piyungan untuk turun tangan menyelesaikan permasalahan sampah akibat dampak penutupan TPST.