Lihat ke Halaman Asli

Rais Al Azizi

Mahasiswa Sejarah

Resensi Buku "Perang yang Tidak Akan Kita Menangkan": Sejarah Anarkisme dan Sindikalisme di Indonesia

Diperbarui: 18 November 2020   13:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Pada tanggal 5 Oktober 2020 Dewan Perwakilan Rakyat mengesahkan RUU Cipta Kerja yang menjadi polemik dan terjadi penolakan dimana-mana. Undang-undang yang dianggap tidak pro terhadap rakyat tersebut mendapat penolakan dari berbagai kalangan, baik itu dari kalangan akademisi maupun kalangan buruh. Mereka melakukan berbagai cara untuk menunjukkan protes mereka terhadap pemerintah, Salah satunya adalah melakukan demonstrasi. Dalam aksi demonstrasi tersebut, terdapat hal yang menarik untuk dibahas Yaitu, munculnya kaum siswa yang berasal dari Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP) yang usianya masih belasan tahun. Munculnya siswa-siswa ini pada akhirnya menimbulkan persepsi publik akan tindakan anarkisme yang terjadi pada saat demonstrasi. Lalu, munculah pertanyaan, sebenarnya apa yang dimaksud dengan anarkisme tersebut dan sejak kapan gerakan ini muncul?. Hal ini dijawab dengan sangat gamblang dan tuntas oleh Bima Satria Putra, beliau melakukan penelitian yang berhubungan dengan gerakan anarkisme dan sindikalisme yang terjadi pada Zaman Kolonial sampai Masa Revolusi Indonesia (1908-1948). Lalu penelitian itu saat ini telah menjadi buku yang berjudul "PERANG YANG TIDAK KITA MENANGKAN, Anarkisme dan sindikalisme dalam Pergerakan Kolonial hingga Revolusi Indonesia  (1908-1948).

Tokoh yang terkenal dalam pemikiran anarkisme adalah Mikhael Bakunin. Ia adalah seorang yang giat membela proletar. Ia banyak berjasa dalam pemberontakan-pemberontakan yang dipimpinya. Pergerakanya sejalan dengan perkembangan Komunisme-Marxis, tetapi kerap mengkritik terhadap sistem daripada otoritarianisme marxis.

Gerakan anarkis semakin meluas di daratan Eropa, tak terkecuali negeri Belanda yang pernah menjajah Indonesia yang begitu lamanya. Kemunculan gerakan anarkisme di negeri kincir angin itu sejatinya di tandai dengan berdirinya Sekretariat Buruh Belanda (NAS) yang di dirikan oleh Christian Cornelissen pada tahun 1893. Namun sebelum gerakan itu lahir, sudah terdapat organisasi serupa yaitu Liga Sosial Demokrat (SDB), Christian Cornelissen pernah masuk ke dalam organisasi ini sebelum membentuk NAS.

Pada perjalananya SDB pernah terpecah menjadi dua, SDB yang pro terhadap aksi langsung dan revosioner, dengan SDB yang pro terhadap parlementer yang kemudian membentuk Partai Sosial Demokrat (SDAP) yang di prakarsai oleh Pieter Jelles Troelstra. Disini SDAP berupaya untuk melawan anarkis dan sindikalis untuk memenangkan posisi dominan dalam gerakan buruh.

Sindikalis sendiri merupakan gerakan pengorganisiran ekonomi yang menentang keras kapitalisme yang mana industri dimiliki dan dikelola langsung oleh pekerja dan tersistimasi melalui konfederasi. Hal itu muncul akibat pengalaman mereka yang melihat praktik-praktik pengelolaan yang tidak baik oleh para pemilik modal, seperti banyaknya praktik korupsi dan lain-lain. pada akhirnya, pekerja mulai menyadari bahwa kekuatan industrial terletak di tangan mereka sendiri.

Lalu bagaimana dengan pergerakan anarkisme di Indonesia?, pada saat itu, gerakan anarkisme di Indonesia terpengaruh oleh kondisi historis. perasaan marah terhadap pemerintah kolonial menjadikan sebuah gerakan perlawanan. Pada masa ini, gerakan anarkis sejalan dengan masuknya wawasan kebangsaan. Sehingga tak dapat dibedakan lagi antara nasionalisme, radikal, dan anarkis menjadi bias dan tak bisa terpisahkan lagi karena tujuan-tujuan politik anti kolonial. Pemantik gerakan anarkis ini juga di pengaruhi oleh sebuah novel yang ditulis oleh seorang Belanda yang bernama Douwes Dekker. Meskipun sebenarnya Douwes Dekker ini bukan merupakan seorang anarkis, tapi karyanya yang berjudul Max Havelaar sejalan dengan semangat yang diusung oleh gerakan anarkisme. Selain itu juga gerakan anarkisme dipengaruhi oleh gerakan-gerakan anarkis yang terjadi di Belanda pada pertengahan abad-19. 

Perkembangan pemikiran anarkisme di Indonesia semakin berkembang. Di tandai dengan banyaknya intelektual muda yang berasal dari Indonesia, yang memiliki hubungan dengan para tokoh anarkisme Belanda. Para intelektual muda yang mempunyai hubungan dengan para tokoh di Belanda ini sering di sebut-sebut sebagai sayap kiri yang di dalamnya terdapat kaum sosialis demokrat, kaum sosialis revolusioner, anarkisme dan komunisme. Lalu pada tahun 1927, dibentuklah kongres di Brussels yang membahas tentang kontak pelajar Indonesia di Belanda dengan organisasi kiri dan gerakan anti kolonialisme. Pada kongres ini Mohammad Hatta datang sebagai perwakilan dari Perhimpunan Indonesia (PI)  yang merupakan kelompok studi pelajar Indonesia di Belanda.

Selain Mohammad Hatta, pelajar yang yang mempelajari anarkisme adalah Sutan Sjahrir. Beliau awalnya mempelajari gerakan sosialis ketika ia masih menjadi mahasiswa di Fakultas Hukum Universitas Amsterdam di Belanda. Namun ia menemukan sesuatu kebebasan di gerakan anarkis sehingga tertarik mempelajari gerakan anarkis tersebut. keterlibatan Mohammad Hatta dalam kongres dan Proses Sjahrir dalam mempelajari anarkisme sejatinya hanya sedikit contoh, karena masih banyak pelajar Indonesia yang menggeluti dan mempelajari pemikiran anarkis.

Selain berkembangnya pemikiran anarkis di Indonesia, ternyata terdapat gerakan-gerakan sindikalis pada masa itu. Gerakan sindikalis pertama di Indonesia, dapat kita temui pada gerakan sindikalis Winanta dan Hindromartono. Winanta merupakan karyawan jawatan kereta api Bandung dan merupakan cikal bakal ketua Partai Komunis Indonesia (PKI) pada tahun 1924. Sedangkan Hindromartono merupakan ketua Persatuan Spoor dan Tram (PPST) dan pendiri Barisan Kaum Buruh. Lalu setelah gerakan sindikalis Winanta dan Hindromartono berlalu, kemudian muncul gerakan sindikalis periode kedua yaitu, gerakan sindikalis  Djokosuadono. Ia sangat aktif dalam gerakan bawah tanah PKI semasa pendudukan Jepang dan sempat menjadi ketua PKI pada tahun 1948. Mereka melakukan aksi pemogokan kerja, demonstransi dan lain sebagainya untuk melakukan protes mereka terhadap kebijakan-kebijakan yang mereka rasa hanya menguntungkan segelintir pihak.

Buku ini sangat bagus dan bisa mengubah perspektif pembacanya atas gerakan-gerakan anarkisme dan sindikalisme yang di anggap negatif. Bahasanya yang ringan dan mudah dipahami menjadi nilai lebih untuk buku ini. Selain bahasanya yang ringan, di buku ini juga tercantum sumber-sumber seperti foto, manuskrip-manuskrip, dan lain lain.

Judul      : Perang Yang Tidak Akan Kita Menangkan.

Penulis  : Bima Satria Putra

Penerbit : Pustaka Catut

Jumlah Halaman : 250 Halaman

Edisi    : I, Agustus 2018




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline