Lihat ke Halaman Asli

Daerah yang Berdarah

Diperbarui: 18 Agustus 2024   19:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

PRANG!

BUGH!

SREK!

Aku berlari kencang masuk ke dalam rumah, lalu menutup dan mengunci pintu seperti orang kesetanan. Dengan napas terengah-engah, aku duduk di pojok kamar seraya memeluk lutut. Kugenggam erat satu bungkus kopi yang baru kucuri dari warung. Ruangan yang gelap dan pengap ini membuat napasku makin sesak. Bunyi kekacauan di luar sana masih samar-samar terdengar di telinga.

Sering kudengar, maling yang ketahuan mencuri biasanya akan dikejar warga, dimaki-maki, lalu dipukuli sampai mati. Namun bukan itu yang membuatku takut setengah mati, meskipun aku memang mencuri. Rasanya aku makin gila setelah jadi warga transmigrasi. Siapa yang akan hidup nyaman di tengah-tengah pembantaian? Daerah ini semakin berdarah. Sampit makin kelam.

Baru saja aku tahu rasanya berlarian di antara benturan dua senjata. Di antara cipratan darah yang menguarkan hawa kematian. Di antara kepala-kepala malang yang menggelinding di jalanan. Aku tahu betapa kejamnya suku lama, meski aku sering mengurung diri selayaknya orang dengan gangguan jiwa. Tak perlu jadi waras untuk tahu keadaan sekarang sangat mengerikan.

Mulanya, kekacauan ini berasal dari pembunuhan orang suku lama oleh warga transmigrasi yang memunculkan virus kebencian. Lalu disusul prasangka-prasangka buruk bahwa warga transmigrasi ingin merebut hutan tempat tinggal suku lama. Suku lama marah, begitu marah sampai mereka membakar rumah-rumah warga transmigrasi. Peristiwa itu mendapat serangan balasan. Terjadilah peperangan antara dua kelompok yang saling menebar kebencian. Suku lama dengan tradisi kunonya sering berkeliling di jalanan dengan memasang kepala warga transmigrasi yang telah mereka tebas di ujung tombak mereka. Begitulah yang aku dengar dari gosip orang-orang yang sering lewat di samping rumah.

Aku tak tahu mengapa kemarahan begitu cepat meledak. Aku pikir, kejadian kriminal itu---pembunuhan itu bisa terjadi pada siapapun tanpa memandang suku. Tapi siapa sangka hal itu memicu perang mengerikan yang tak pernah kubayangkan sebelumnya. Aku pikir lagi, mereka terlalu cepat mendendam. Terlalu cepat membunuh orang.

Itu hanya pikiranku saja. Pikiran orang gila yang tak akan didengar apalagi ditanggapi tetangga-tetanggaku yang menganggap diri mereka waras. Tapi posisi ini mungkin akan sedikit menguntungkan. Orang sepertiku yang sehari-hari selalu ketakutan di kamar gelap, makan dan minum bergantung dari belas kasihan warga, dan terkadang terpaksa harus mencuri, tidak mungkin akan diserang. Suku lama tak akan mendatangi apalagi membunuhku.

Aku teringat pada bungkus kopi di genggamanku. Tanganku terangkat untuk menggaruk kepala meski sebenarnya tidak gatal. Lantas berdiri dengan kaki gemetar dan melangkah ke dapur. Bau sayuran basi menyerang hidung, tapi aku tak peduli karena bau seperti itu sudah sering kutemui di rumah ini. Kuambil cangkir dari lemari, merobek ujung bungkusan kopi, lalu menuang bubuk berbau nikmat itu ke dalam cangkir. Aku mencoba membuat minuman kopi seraya mengingat cara orang-orang normal melakukannya.

Kutiup segelas kopi yang kubuat sampai terlihat asap yang mengepul. Kucoba meminumnya sedikit dengan pelan. Pahit. Begitulah rasanya hingga dahiku mengernyit. Apakah harus ditambah gula? Namun, aku tidak menemukan butiran manis itu di seluruh sudut dapurku yang kusam.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline