K.H. Mustafa Bisri (Gus Mus), termasuk aktivis media sosial. Dia rajin mengirim pesan lewat medsos untuk para pengikutnya, nyaris setiap hari. Mungkin, aktivitas Gus Mus hanya kalah oleh ustad Yusuf Mansur yang memang sangat aktif bermedsos. Mereka adalah kalangan terdidik papan atas yang sangat ‘bahagia’ memanfaatkan medsos sebagai media komunikasi, secara amat positif. Isi medsos mereka, selalu sejuk, mendamaikan, dan positif. Bahkan ketika berkomentar keraspun, susunan kata dan kalimatnya tetap netral. Mereka paham menggunakan medsos secara benar, sebagai sebuah media publik, bukan media pribadi.
Ketika ada pihak yang tak setuju dengannya, atau di medsos sering disebut hatter, sikap Gus Mus tetap kalem. Menanggapinya dengan santai dan sejuk. Tidak pernah ada reaksi reaktif, seperti yang biasa ditunjukkan para selebriti medsos lainnya. Dicolek sedikit saja, reaksinya keras. Bahkan, ketika harga dirinya disinggung, tidak jarang langsung masuk ke ranah hukum. Dengan beragam dalih seperti penghinaan, pencemaran nama baik, atau pembunuhan karakter. Alhasil, pada era medsos ini, Kepolisian Republik Indonesia menjadi lebih sibuk dibanding era-era sebelumnya. Ngurusin pengaduan ‘medsos’.
Gus Mus berbeda. Baru-baru ini, seorang followernya yang karyawan sebuah BUMN, melontarkan komentar pedas kepada ulama asal Rembang Jawa Tengah tersebut. Komentar pedasnya menimbulkan kegaduhan. Netizen langsung mengecam dan membullynya. Akibatnya, BUMN tempatnya bekerja memberikan sanksi berupa SP3 (surat peringatan ke-3). Ini surat bukan sembarangan lho. Dalam tataran administrasi perusahaan manapun, SP3 itu adalah tahap terakhir peringatan atas pelanggaran kerja sebelum PHK. Menunjukkan bahwa kesalahan dia dalam berkomentar, berada pada level berat! Minimal itulah penilaian dari BUMN tersebut.
Bagaimana sikap Gus Mus… kalem saja tuh, hehe. Bahkan dia mengatakan, sudah memaafkan yang bersangkutan sebelum yang bersangkutan meminta maaf. Hmmm… seingat saya, itulah ajaran agama yang dipegang Gus Mus. Ajaran yang sudah jarang dijalankan oleh sebagian umat di Indonesia. Esensi sebuah kedamaian adalah saling memaafkan. Dan itulah yang diterapkan oleh Gus Mus. Bukan hanya teori atau di mulut saja, melainkan benar-benat dipraktikkan. Sebuah hal amat mahal bagi sebuah bangsa heterogen seperti Indonesia.
Sesungguhnya, sikap yang ditunjukkan oleh Gus Mus, sudah dicontohkan oleh nenek moyang kita dan para pendiri bangsa. Etika, sopan santun, tata krama, dan kepribadian bangsa Indonesia sebenarnya memang seperti itu. Damai, teduh, harmonis, kekeluargaan dan sejenisnya. Itulah sebabnya, kita mengenal budaya gotong royong. Tak peduli latar belakangmu apa, kalau sudah gotong rotong maka semua ikut serta. Hal yang sekarang sudah mulai luntur, terutama di kota-kota besar.
Kalau melihat stereotif bangsa kita, memang sebagian besar penyuka kedamaian. Suku Jawa dan suku Sunda, dua etnis terbesar di Indonesia terkenal sebagai etnis dengan budaya yang halus dan pencinta damai. Demikian pula sebagian besar suku bangsa lainnya. Hanya ada beberapa etnis yang dari luarnya terlihat lebih keras, walaupun kalau diselami lebih dalam, ternyata mereka juga sama seperti mayoritas bangsa ini, yaitu pencinta damai.
Jadi kalau sekarang kita agak sedikit ribut dengan masalah ketersinggungan terkait SARA, saya yakin sekali, bangsa ini akan mampu menghadapi dan menyelesaikannya secara damai. Kita sudah 70 tahun lebih merdeka, dan pengalaman panjang dijajah bangsa lain. Kita bangsa yang sudah teruji. Semakin ke sini, bangsa kita semakin dewasa. Tinggal bagaimana para pemimpin kita menjaga dan merawat kondisi tersebut, salah satunya dengan memberikan teladan (contoh yang baik) kepada masyarakat.
Sikap Gus Mus, sangat bisa jadi teladan.
Sikap Jokowi dan Prabowo bisa menjadi contoh.
Sikap panglima TNI juga dapat jadi panduan.
Sikap-sikap seperti mereka, harus diperbesar dan diperbanyak, agar dalam menyelesaikan masalah apapun, prinsip dasarnya tetap sama yaitu: Damai, damai, damai.