Lihat ke Halaman Asli

Rainny Drupadi

Penjawab ABAM

Penutupan Rubrik Agama Menyuburkan Kekerasan Berbasis Agama

Diperbarui: 26 Juni 2015   08:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Kaget saya membaca kebijakan Kompasiana untuk menutup rubrik agama karena dianggap sakit parah. Lebih kaget lagi karena langkah ini diambil berdekatan dengan jatuhnya korban tewas dalam serangan terhadap kelompok Ahmadiyah di Cikeusik, Banten dan perusakan serta pembakaran gereja di Temanggung. Apakah admin mengira kekerasan di dunia nyata dipicu perdebatan di dunia maya? Atau belum tahu apakah keduanya berhubungan atau tidak, tapi daripada dituduh memicu dan dikenai pasal penodaan agama lantas buru-buru cuci tangan.

Saya sama sekali tidak setuju dengan penghapusan rubrik apapun yang membahas apapun termasuk agama. Justru di tempat seperti inilah orang bisa berdebat mengalami perbedaan, setajam dan bahkan mungkin sekasar apapun tanpa pukul-pukulan dan bacok-bacokan. Kejengkelan, mungkin kemarahan, bisa disalurkan lewat keyboard di dunia maya, dengan sehat, atau bahkan dengan marah-marah. Tapi tak ada kekerasan fisik. Tak pakai luka. Tak ada yang mati.

Saya yakin orang yang pukul-pukulan dan bacok-bacokan dan bunuh-bunuhan di dunia nyata untuk membela Tuhannya berbuat begitu karena tidak atau tidak bisa menyalurkan aspirasi dan kejengkelannya secara verbal-melalui kata-di forum manapun.

Di forum-forum yang perdebatannya sengit, saya senang melihat dua kubu berdebat dengan keras, bahkan saling menghina, saling tuduh, dan saling lempar makian serta cercaan, kadang fitnah. Fitnah dibantah, balas dengan cerca lain lengkap dengan penghinaan. Tulisan panjang mendapat komen panjang dan kemudian mendapat komen balik yang lebih panjang. Walaupun sebagiannya sok tahu atau maki-maki. Sungguh mendewasakan. Sebetulnya ini pertanda bagus. Kenapa? Karena jika tangan kedua kubu yang 'bertikai' sibuk dipakai mengetik saya yakin tangan kedua kubu tidak akan sempat mengambil, mengasah, dan menggunakan golok untuk membacok lawan-lawannya.

Apapun yang memperkecil kemungkinan terjadinya kekerasan fisik selalu menggembirakan. Sekalipun itu maki-maki dan kemarahan. Karena marah-marah, sekalipun berisik, tetap masih jauh lebih sehat daripada pukul-pukulan, bunuh-bunuhan, atau bacok-bacokan, justru karena itu semua bisa dilakukan dalam senyap dan gelap.

Lagipula, kalau memang mau mendebat dan membahas--atau mencaci maki--agama sebetulnya tidak diperlukan rubrik agama, rubrik lain bisa digunakan. Filsafat, misalnya. Atau budaya. Mungkin bukan sains dan teknologi. Tidak pula diperlukan Kompasiana, sebetulnya.

Walaupun demikian, saya yakin rubrik agama di Kompasiana justru membantu mengurangi digunakannya kekerasan fisik di dunia nyata, bukan mengomporinya. Menutup rubrik agama di Kompasiana, dalam pendapat saya, bukan hanya menunjukkan sikap Admin yang ingin 'cuci tangan' tetapi juga menghilangkan kesempatan khalayak untuk bisa menjadi lebih dewasa.

Khalayak ramai kini kehilangan kesempatan untuk belajar menjadi tidak gampang tersinggung.

Tapi apalah yang bisa saya lakukan seorang diri.

Mungkin nonton TV. Pilihannya sinetron cengeng atau melihat kekerasan atas nama Tuhan ditayangkan berulang-ulang. Mungkin sebaiknya saya tidak usah membahas kekerasan berbasis agama, karena ini semua adalah kekerasan berbasis filsafat dan budaya.

Mungkin selanjutnya kita perlu menghapus kata agama dari kamus.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline