Lihat ke Halaman Asli

APEC 2013 Indonesia? Harus Bilang WOW Gitu??!

Diperbarui: 25 Juni 2015   00:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Pro dan Kontra --- mungkin tidak akan pernah lepas dari penilaian setiap bentuk kerjasama termasuk forum kerja sama ekonomi asia pasifik atau Asia Pacific Economic Cooperation (APEC), yang sejak dilahirkan 23 tahun silam bergulat dengan perubahan sejalan dengan perkembangan kerja sama kawasan maupun perlehatan ekonomi global. Diantara semua penyataan berbau sentimen negatif, aroma kegagalan dan cynical, APEC bertahan.

Sebagai satu-satunya forum yang bersifat voluntary-non binding but morally and politically binding ini, APEC memiliki jumlah penduduk sebesar 2,7 miliar atau 40% dari jumlah penduduk dunia, memiliki USD 16,8 triliun pada perdagangan intra kawasan atau 44 dari total keseluruhan perdagangan dunia. Berdasarkan purchasing power parity (PPP) jumlah GDP di kawasan sebesar USD 35,8 triliun atau 53% dari total GDP dunia. APEC tidak bisa dianggap kecil, terlebih lagi bila di kecil-kecilkan. Jika demikian apakah APEC punya arti penting bagi Indonesia?

Pertanyaan tersebut tentunya tidak mudah terjawab, karena mau tidak mau harus bertentangan dengan public opinion yang menyatakan APEC tidak lebih dari sekedar Photo Session!

Bagi negara berkembang seperti Indonesia APEC masih bermanfaat untuk menciptakan dan memperkuat rezim kerja sama perdagangan dan ekonomi di kawasan Asia Pasifik yang kondusif dan masih memiliki pengaruh besar untuk membantu menjaga agar pasar-pasar terpenting Indonesia tetap terbuka bagi produk Indonesia. Terlebih di masa krisis banyak negara cenderung untuk menjadi lebih proteksi dan menutup akses pasar. Sekalipun non binding dan voluntary, tidak dapat dielakan bahwa integrasi ekonomi -- de facto -- yang terjadi di kawasan Asia Pasifik sama halnya dengan integrasi yang terjadi pada suatu FTA. APEC juga melengkapi dan memperkuat sistem perdagangan multilateral dan memperkuat seruan G20 agar negara-negara di dunia resist pada proteksionisme dan melakukan standstill dari penerapan hambatan tarif dan non-tarif baru pada perdagangan. APEC pun memiliki mekanisme kerja sama mencakup berbagai hal di bidang ekonomi dan pembangunan, sebut saja perdagangan, investasi, kesehatan, pendidikan, isu-isu perempuan, sumber daya manusia, UKM, imigrasi, kepabeanan, standarisasi, keamanan pangan, penuntasan illegal logging dan Illegal fishing, pembahasan anti korupsi, penanganan bencana, reformasi struktural, masalah hambatan regulasi dan masih banyak lagi. Lantas apa buktinya APEC membantu mengembangkan fasilitas bagi pembisnis di semua ekonomi APEC?

Fasilitasi perdagangan merupakan salah satu prioritas program kerja prioritas APEC di bawah Committee on Trade and Investment (CTI), bagi pembisnis dikembangkanskema APEC Bussines Travel Card (ABTC) atau Kartu Perjalanan Pembisnis (KPP) APEC yang bermanfaat untuk memberikan kemudahan mobilitas bisnis bagi para pengusaha di ekonomi APEC. ABTC di Indonesia sudah dilakukan sejak 1 Mei 2004 berdasarkan SK Menteri September 2003, dan PP No. 75 tahun 2005. Dengan memiliki ABTC, para pengusaha tidak perlu lagi mengajukan visa ke perwakilan ekonomi anggota APEC mengingat kartu tersebut juga berfungsi sebagai visa elektronik dan fasilitas multiple short-entry ke 17 ekonomi anggota APEC selama tiga tahun. Saat ini terdapat tujuh belas ekonomi anggota APEC yang sudah memanfaatkan fasilitas ABTC yakni: Australia, Brunei Darrusalam, Chile, China, Hong Kong, Indonesia, Jepang, Korea, Malaysia, Selandia Baru, Singapura, Papua Nugini, Peru, Filipina, Taiwan, Thailand, dan Vietnam. Penggunaan ABTC sesuai dengan prinsip-prinsip yang telah diatur oleh hukum internasional yaitu prinsip Most Favoured Nation (MFN Principle) merupakan prinsip Non Diskriminasi terhadap produk sesama negara-negara anggota WTO; prinsip National Treatment (NT Principle) merupakan prinsip non diskriminasi antar produk dalam negeri dengan produk serupa dari luar negeri; prinsip Resiprositas (Reciprocity), merupakan persyaratan perlakuan timbal balik di antara sesama negara anggota WTO dalam kebijaksanaan perdagangan internasional. Berdasarkan prinsip ini setiap negara secara timbal balik saling memberikan kemudahan bagi lalulintas barang dan jasa.

Diatas belum sempat disinggung satu fenomena terkait sejarah. Adalah Indonesia melalui pertemuan APEC tahun 1994 menyampaikan konsep Bogor Goals yang sejak dikumandangkan dianggap sebagai benchmark atau tolak ukur pencapaian program kerja sama integrasi ekonomi di kawasan. Kemudian di teruskan oleh Jepang tahun 1995 melalui Osaka Action Agenda yang berisi rumusan implementasi dari Bogor Goals. Dalam mencapai tujuan dan menjaga momentum. APEC secara rutin mengadakan pertemuan dari tinggal teknis-official, experts, senior official, Menteri dan Kepala Negara. Pada tingkat Menteri dan Kepala Negara, APEC juga berperan memfasilitasi berbagai pertemuan serta pembahasan untuk meningkatkan kerja sama bilateral, maupun membahas situasi ekonomi regional dan global beserta langkah-langkah penanggulangan secara kongkrit. Pada setiap diskusi maupun membuat kebijakan APEC juga melibatkan peran dunia usaha melalui partisipasi APEC Business Advisory Council (ABAC), dengan harapan dapat meningkatkan fasilitasi bisnis antar ekonomi menjadi cheaper, faster and easier serta mendapatkan dukungan penuh dari semua stakeholders melalui pengembangan program-program peningkatan kapasitas atau capacity building, sebagai salah satu pilar kerja sama di kawasan ini.

Namun lagi-lagi, bukan berarti APEC tanpa kelemahan sama sekali, terutama dalam menyelesaikan program-program penting di kawasan, sebut saja salah satunya adalah pengembangan capacity building. Dukungan publik yang minim dan cenderung memandang sebelah mata menjadi salah satu batu sandungan terhebat dalam setiap proses kerja sama. Sebagai forum kerja sama utara-selatan, dengan tingkat ekonomi yang masih memiliki gap antara negara maju dan berkembang, pengembangan program berbasis investasi sumber daya manusia, alih teknologi maupun capacity building harus terus di kedepankan, agar ekonomi berkembang APEC dapat merambah naik dalam mata rantai nilai dan terhindar dari “middle-income trap” yang mengejar pendapatan tinggi hanya dari produktivitas yang tinggi dan bukan dari peningkatan nilai tambah.

APEC 2013: Indonesia Mampukah?

Dua tahun sejak Pencapaian Bogor Goal bagi negara maju, membawa APEC pada babak evaluasi sesungguhnya.Bagi Indonesia tahun ini dan tahun 2013 merupakan fase pembuktian, mengartikulasikan kepemimpinan. Bangga? Bukankah sudah seharusnya?! Sebagian orang boleh saja sepaham dengan pernyataan Alan Oxley --Commentators in many APEC economies regard APEC as “dead”. Namun bagi sebagian lain yang masih percaya bahwa proses APEC adalah proses yang tetap penting untuk dipertahankan, dikembangkan, diberdayakan bagi kepentingan, serta peran Indonesia di kawasan terlebih jika tetap berupaya maksimal bersinergi dengan arah perubahan dan perkembangan yang tidak hanya melanda kawasan, namun juga melanda dunia, tentu juga tidak boleh dipersalahkan. Jika kita menyadari bahwa perkembangan adalah perubahan, tentunya kita pun perlu berlapang hati menerima bahwa perkembangan dimanapun dan apapun memiliki prinsip keserasian dan keseimbangan. Kita pun perlu menerima bahwa perkembangan adalah proses yang tidak pernah selesai.

Kita yang yakin bahwa kita adalah bangsa besar tentunya perlu melestarikan kebesaran nama kita, tidak boleh tinggal diam apalagi hanya berani hidup di tepi lingkaran eksistensi semata. Kemajuan mensyaratkan kerja cerdas, kerja keras dan kerja sama. Kita boleh saja marah karena merasa kebesaran nama kita sebagai nation kerap harus menyerah oleh kepentingan negara maju, pertanyaan sederhana, kenapa bisa dan kenapa mau? Jangan-jangan kita selalu merasa besar namun lupa bahwa kebesaran nama harus dilestarikan dengan melakukan hal-hal besar serta lebih memampukan diri kita sendiri, jangan-jangan kita yang lupa mengerjakan setumpuk pekerjaan rumah kita sendiri. Jangan-jangan kita terlalu terlena dengan warisan kekayaan alam yang pada masanya bisa habis hingga kita lupa mengembangkan daya saing dan potensi diri, memaksimalkan daya tahan dan warisan daya juang para pendiri negeri. Jika kita marah dengan banyaknya anak negeri yang lebih mencintai produk luar, bukankah kita seharusnya juga percaya dan berupaya agar produk unggulan dalam negeri memiliki daya saing yang sebanding bahkan lebih baik. Pada akhirnya kita memang harus lebih berkontempelasi, berbijak pada satu tanya yang sama, apa sebenarnya yang sudah kita lakukan untuk negeri. Bukankah cinta butuh bukti?

Maka menjadi Tuan Rumah penyelenggaraan APEC 2013 suka atau tidak suka, memilikinilai dan aspek sejarah perjalanan bangsa di kancah pergaulan Dunia. Kesempatan untuk membuktikan bahwa Indonesia adalah bangsa besar. Semoga tulisan ini dapat memberikan dampak positif bagi perkembangan peran, serta kepentingan Indonesia di kawasan maupun di dunia. Resilience! When we have a clear sense of identity and purpose, we are more resilient, because we can hold fast to our vision of a better future! Thus, to find out a missing sense on “we” and “us”, hand-in-hand from all stakeholders: expertise, public, media, government, private sectors, academician, it’s obviously a must!

Salam Perubahan!




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline