Lihat ke Halaman Asli

Raihan Muhammad

Manusia biasa yang senantiasa menjadi pemulung ilmu dan pengepul pengetahuan.

Soe Hok Gie, Mendayung di Antara Dua Rezim

Diperbarui: 18 Juni 2022   10:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gambar diolah oleh: Raihan M.

"Hanya ada dua pilihan: menjadi apatis atau mengikuti arus, tetapi aku memilih untuk jadi manusia merdeka."— Soe Hok Gie


Gie, seorang idealis yang merdeka, pemuda keturunan Tionghoa yang berani mengkritisi dua rezim berbeda, yakni rezim Sukarno dan Soeharto. Pria kelahiran Jakarta, 17 Desember 1942 ini sangat lantang "menampar" kebobrokan yang terjadi pada sistem pemerintahan Indonesia ketika itu. Lewat pemikirannya yang dituangkan ke dalam tulisan-tulisan yang kritis dan amat berani, ia mampu melawan arus kencang di tengah-tengah lautan. Keberanian, keidealisan, dan kekritisan Gie terhadap dua rezim "Tangan Besi" bisa kita temukan dalam buku Catatan Seorang Demonstran, Zaman Peralihan, dan beberapa di dalam Soe Hok-Gie... Sekali Lagi: Buku Pesta dan Cinta di Alam Bangsanya. Dalam buku tersebut ia menuangkan catatan, keresahan, kritikan, dan pemikirannya terhadap pemerintahan Sukarno dan Soeharto, serta terkait hal-hal lainnya.


Masa Sekolah
Gie merupakan anak keempat dari lima bersaudara, ia lahir dari pasangan bernama Soe Lie Pit (seorang penulis) dan Nio Hoe An. Gie gemar membaca, serta sering mengunjungi perpustakaan umum dan beberapa taman bacaan di pinggir-pinggiran jalan Jakarta. Bahkan, sejak masih duduk di bangku sekolah dasar, Gie sudah membaca karya-karya sastra yang berat, seperti karya Pramoedya Ananta Toer. Gie pernah bersekolah di SD Shin Hwa School, SMP Strada, dan SMA Kolese Kanisius. 

Gie sering bertengkar serta melakukan kenakalan-kenakalan lainnya, terkadang ia bolos sekolah supaya bisa berkunjung ke perpustakaan, seperti di British Council, atau pergi ke toko buku. Semasa sekolah, Gie juga dikenal kritis, ketika kelas dua, ia sering mengkritisi gurunya (prestasinya juga buruk ketika itu). Akibatnya, ia tidak naik ketika kelas dua. Gie merasa adanya ketidakadilan dan tidak mau mengulang kelas, akhirnya Gie memutuskan untuk pindah sekolah. Semasa remaja, ia sudah memperlihatkan kemuakannya dengan ketidakadilan sehingga sewot karena nilai yang semestinya 8 kemudian dipotong sampai 5, padahal Gie berpandangan bahwa murid yang paling pandai pada bidang itu adalah dirinya.


Saking muaknya dengan ketidakadilan yang dilakukan gurunya, Gie kemudian menuliskan dalam catatannya, "Aku sebetulnya tak menganggapnya perang, hanya bertukar pikiran saja ... kalau angkaku ditahan—model guru tak tahan kritik—aku akan mengadakan koreksi habis-habisan, Sedikit kesalahan akan kutonjolkan. Sebetulnya tak sedemikian maksudnya ... Aku tak mau minta maaf. Memang demikian saja dia lupa. Guru model gituan, yang tak tahan kritik boleh masuk keranjang sampah. Guru bukan dewa dan selalu benar, dan murid bukan kerbau."


Setelah lulus dari SMA, Gie kemudian melanjutkan studinya ke Fakultas Sastra, Jurusan Sejarah, di Universitas Indonesia, ia juga merupakan pendiri wadah Unit Kegiatan Mahasiswa bernama Mapala UI pada 12 Desember 1964. Gie mengusulkan untuk membentuk suatu organisasi yang bisa menjadi wadah berkumpulnya berbagai kelompok mahasiswa. Pada akhirnya, ia berhasil lulus pada 1969 setelah menyelesaikan skripsinya tentang sejarah PKI di Madiun dengan judul "Simpang Kiri dari Sebuah Jalan: Kisah Pemberontakan PKI Madiun September 1948" (yang kemudian dijadikan sebuah buku dengan judul Orang-Orang di Persimpangan Kiri Jalan).


Rezim Sukarno
Pada era sistem pemerintahan Sukarno (khususnya era demokrasi terpimpin), banyak terjadi penyimpangan dan penyelewengan yang justru bertentangan dengan Pancasila dan cita-cita bangsa Indonesia. Terdapat beberapa hal yang dikritisi Gie: penyelenggaraan GANEFO, perencanaan CONEFO, pembredelan surat kabar (kebebasan pers dibatasi), pemberontakan PKI, penahanan tokoh-tokoh tanpa proses pengadilan, konfrontasi terhadap Malaysia, dan lainnnya. Dalam tulisannya Gie terlihat sangat muak dengan penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan Presiden Sukarno ketika itu, dikutip dari tulisannya, ia berpandangan, "Sebagai manusia saya kira saya senang pada Bung Karno, tetapi sebagai pemimpin, tidak! Bagaimana ada pertanggungjawaban sosialisme melihat negara dipimpin oleh orang-orang seperti itu?"


Dalam tulisannya, Gie memang terlihat amat kesal terhadap pemerintahan Sukarno, banyak sekali penyimpangan-penyimpangan yang dikritisi olehnya. Dalam mengkritik, Gie memang sangat berani, tulisan-tulisannya terhadap kebobrokan tentu bisa langsung menusuk ke hati, perlu kelapangan dada yang besar untuk bisa menerima sepenuh hati, serta harus menghayati tulisan-tulisan yang ditulis olehnya karena tulisan-tulisan tersebut bukan tanpa dasar dan alasan. Dalam tulisannya Gie sangat jujur terhadap kondisi bangsa Indonesia ketika itu, manusia-manusia hipokrit "ditampar" oleh Gie dengan setiap kata-katanya yang dituangkannya ke bentuk tulisan.


"Di sana, di Istana sana, Sang Paduka Yang Mulia Presiden tengah bersenda gurau dengan isteri-isterinya. Dua ratus meter dari Istana, aku bertemu si miskin yang tengah makan kulit mangga. Aku besertamu orang-orang malang ...," tulis Gie dalam buku catatan hariannya. Ia juga pernah menuliskan dalam buku hariannya, "Soekarno itu kepala negara yang berfoya-foya ketika rakyatnya menderita setengah mati." Gie juga telah beberapa kali bertemu dan berdiskusi dengan Sukarno. Pada saat itu juga, ia menilai menteri-menteri yang gemar menjilat kepemimpinan Sukarno. Gie selalu sedih dan kecewa ketika ke luar dari Istana Presiden. Gie kecewa dan marah kepada Sukarno, serta marah kepada para penjilat yang ada di sekitar Presiden Sukarno, dan marah kepada para koruptor dan mahasiswa yang hipokrit. Marahnya Gie akibat dari keresahan dan kekecewaan terhadap penyimpangan dan penyelewengan yang terjadi ketika itu.

Pada era itu, kondisi Indonesia memang belum stabil, harga beberapa kebutuhan pokok melambung, serta terdapat pejabat yang korupsi. Ketika itu, Indonesia mengalami hiperinflasi sekitar 600% yang membuat perekonomian Indonesia terombang-ambing yang menyebabkan defisit anggaran semakin luas. Defisit anggaran ini diatasi dengan mencetak uang, yakni kebijakan yang malah membuat ekonomi makin ambruk. Indonesia juga dililit utang yang cukup tinggi. Peredaran uang yang sangat gesit merupakan salah satu terjadinya ledakan inflasi ketika itu.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline