Lihat ke Halaman Asli

Rainerus Alva Jati Prasetyo

Seorang Teknisi SAP yang mempunyai hobi menulis.

Cerpen | Harapan

Diperbarui: 8 April 2019   07:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

https://happinesssummit.world/true-hope/


"Ayo kita berlomba 2 putaran.." Dia tampak bersemangat sekali, layaknya ksatria kuterima tantangan tersebut. Air kolam yang terasa sejuk, menjadi ciri khas tempat ini. Kami dengan penuh semangat menyibak air demi air, mengayuh diri kami untuk tiba lebih dahulu di tujuan.


"Yes, aku menang!" Wajahnya berseri seri layaknya anak kecil.


"Yup, sejak kuliah pun aku tak pernah bisa menang dari dirimu." Kubalas ucapannya seraya, mengangkat diriku dari kolam.


"Hahaha, tapi jika kita berenang lebih lama lagi, aku tak akan mampu menandingi tenaga dan stamina itu." Tampaknya dia berupaya merendah. Aku menarik diriku dari pinggir kolam, menuju tenda kecil tempat kami meletakan barang kami. Aku merogoh tasku mengambil handphone ku. Hingga tiba-tiba sebuah pesan mengejutkan tampak di sana.


"Hei, ada apa?" Sepertinya rawut wajahku dapat dilihatnya dengan jelas. Aku tunjukan pesan tersebut kepadanya. "Lalu, bagaimana?" Dia lanjut bertanya.


"Entahlah, saat ku kira aku bisa bertemu dengannya lagi." Terdapat sedikit rasa kecewa yang tidak dapat kusembunyikan dibalik ucapan dan raut wajahku. Kuambil handuk dalam tasku untuk menutupi semua rasa kecewa tersebut.


"Halah... Kamu seperti itu terus, makanya kamu gak pernah maju.." ucapnya seraya merebut handuk tersebut. Seketika itu juga hangat dan terangnya matahari menerpa wajahku. "Dia sedang kesulitan kau malah bersikap seperti ini, beranilah barang sekali, telpon dia, tanyakan kabarnya." Dia memerintahku lagi.

Aku meraih kembali handphoneku, bukannya menelpon, aku mengiriminya pesan. "Ya, Tuhan, kuminta kau menelponnya, malah menulis pesan." Terlihat wajahnya yang seperti tidak menyangka sikapku yang seperti itu. "Kau seperti baru mengenalku kemarin saja."

Setelah beberapa kali berbalas pesan, aku mengalami kebingungan, apa yang akan kuperbuat sekarang. Ada dorongan dalam dari hati untuk bertemu, tapi rasanya jarak yang terlalu jauh nampak seperti tidak mungkin. Seolah-olah Dia tidak memperkenankan kami untuk bertemu.


"Kau ingin menyusulnya?" Suaranya menyadarkanku dari lamunan.


"Ya, ingin sekali, tetapi sini ke sana tidaklah dekat."


"Baiklah, aku belikan tiket bagimu untuk ke sana, besok malam, ya?" Aku terkejut mendengar ucapan itu. "Jangan, tiketnya kan tidak murah, aku tak mau merepotkan orang.." jawabku.


"Tenang, aku dapat bonus, bukan duitku, sekarang tinggal kamu, mau apa gak." Aku berpikir sejenak, memikirkan apa yang harus kuperbuat, apa yang akan ditanyakannya nanti jika kususul ke sana, lalu bagaimana pula orang tuaku. Kusampaikan semua hal itu padanya.


"Dasar, kamu ini emang kebanyakan mikir dari dulu, gerak dulu aja, pikir belakangan, dah ya, ku pesankan ya." Begitulah akhirnya, bagaimana aku berada di kereta ini. Melewati desa demi desa, sawah demi sawah, sebuah peradaban manusia yang sudah lama tidak aku saksikan.

Kereta yang berjalan teratur serta dentuman besi yang beradu antara rel dengan ban, membentuk suatu keteraturan irama, layaknya roda kehidupan yang teratur terus berputar dengan lika-liku dan nyanyiannya. Begitu pula seperti sudah teratur sebelumnya, bencana pun bisa datang seketika. Bencana hadir di antara jalanku menuju ke sana. Apakah harus mundur setelah pergi sejauh ini? Enggan rasanya hati untuk menyerah, entah apakah ini bentuk ujianMu, atau caraMu untuk memintaku mundur, aku sudah lelah menyerahkan nasib pada roda takdir, selama ada sedikit harapan, aku akan tetap maju, layaknya kereta yang tidak pernah mundur.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline