Sekitar dua minggu lalu, pelanggaran lalu lintas yang berujung pada dikenakannya sanksi tilang merupakan peristiwa pertama yang saya alami selama mengendarai sepeda motor hampir tujuh tahun. Tak dapat dipungkiri bahwa pelanggaran yang saya lakukan kali itu bukan merupakan pelanggaran pertama yang saya lakukan. Saya mencoba memaknai kejadian tilang tersebut sebagai sebuah hal yang positif. Pelanggaran yang berujung tilang kali ini menjadi pelajaran bagi saya untuk tidak melakukan pelanggaran lalu lintas kembali, sekaligus menjadi pelajaran mengenai realita hukum yang ada di indonesia yang mungkin tidak saya dapatkan apabila hanya belajar di dalam kelas saja.
Saya ditilang dikarenakan membiarkan penumpang tidak mengenakan helm. Saat itu saya membonceng seseorang tanpa ia mengenakan helm saat berkendara. Apa yang saya lakukan sudah jelas bahwa hal tersebut merupakan pelanggaran lalu lintas yang telah diatur dalam Pasal 106 UU No.22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Awalnya saya bersyukur karena polisi tidak mempersulit perkara yang saya alami ini karena polisi segera memberikan slip tilang berwarna biru tanpa meminta embel-embel apapun ataupun meminta dengan jalan damai. Kata orang, slip biru memang lebih mudah daripada slip merah, namun sejujurnya saya tidak paham betul apa perbedaan antara keduanya. Setelah mencari tahu di internet ternyata slip yang diberikan polisi tersebut memang mempermudah saya dalam menyelesaikan perkara ini.
Kepala Subdit Pembinaan dan Penegakan Hukum Direktorat Lalu Lintas Polda Metro Jaya Ajun Komisaris Besar (AKBP) Budiyanto menyebutkan bahwa slip merah merupakan surat tilang yang diberikan apabila terjadi kesalahan di jalan raya dan pengendara tidak mengakui kesalahannya. Pelanggaran tersebut akan dikenakan denda sesuai dengan beratnya kesalahan yang diperbuat dan dilakukan melalui proses pengadilan. Sedangkan slip biru,
iberikan kepada pelanggar yang mengakui kesalaha dan tetap dikenakan denda. Bedanya, dibayar melalui bank yang ditunjuk tanpa harus melalui proses pengadilan.[1]Kemudian berdasarkan Surat Keputusan Kepala Kapolri No.Pol: SKEP/443/IV/1998, tanggal 17 April 1998 (SK 1998), Sistem tilang yang berlaku saat ini memberi tiga opsi bagi pelanggar apabila pelanggar dikenakan slip berwana biru. Seseorang bisa minta disidang di pengadilan, mau bayar ke Bank Rakyat Indonesia, atau pilihan lain dititipkan kepada kuasa untuk sidang. Kuasa untuk sidang itu tidak lain adalah polisi.[2]
Meskipun demikian, saya tetap mencoba melalui mekanisme pengadilan, karena saya berpikir bahwa akan sangat banyak mendapat pelajaran ketika saya mengurus langsung ke pengadilan. Dan apa yang saya harapkan pun benar adanya, setelah menunggu hampir dua minggu setelah ditilang, tiba waktunya untuk menghadiri persidangan dan disana saya mendapat banyak pelajaran.
Firasat buruk tentang bobroknya sistem pengadilan sudah mulai tercium ketika pertama kali sampai di pengadilan negeri depok. Calo yang berusaha membantu mencarikan nomor perkara para kesakitan dengan dimintai upah lima ribu rupiah juga mulai bertebaran di papan nomor perkara. Saat itu saya mulai bingung karena nomor yang tertera di surat tilang saya tidak tercantum di papan tersebut. Banyak calo yang berusaha membantu,
namun saya tetap bersikeras untuk menunggu polisi sampai datang ke pengadilan. Ini menjadi catatan pertama yang menjadi sebuah keanehan bagi saya karena seharusnya nomor perkara dari setiap orang yang bermasalah tentang tilang seharusnya sudah ada di hari iti juga. Hal ini telah melanggar ketentuan sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 8 Perma Nomor 12 tahun 2016 bahwa Panitera Muda Pidana menugaskan Petugas mempublikasikan daftar nama pelanggar, sangkaan pelanggara, penetapan denda pelanggaran, nama Hakim serta Panitera Pengganti dengan mengunggah pada laman resmi Pengadilan dan papan pengumuman pada hari itu juga.
Singkat cerita, ketika nomor tilang saya yang seharusnya ada di pengadilan tidak ada, saya dioper untuk datang ke polres depok. Ini merupakan cara yang sangat tidak efisien dan memberatkan orang yang berperkara. Seharusnya dari pihak kepolisian langsung mengalihkan berkas ke pengadilan dan langsung dapat dilanjutkan melalui mekanisme pengadilan. Hal ini sudah jelas telah melanggar Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 12 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penyelesaian Perkara Pelanggaran Lalu Lintas. Berdasarkan pasal 5 Peraturan tersebut, seharusnya pengadilan menerima berkas perkara yang disertai surat pengantar dan daftar perkara pelanggaran lalu lintas berupa dokumen cetak dan dokumen elektronik dari penyidik paling lambat tiga hari sebelum pelaksanaan persidangan.
Setelah kejadian tersebut, mau tidak mau saya harus pergi ke Polres untuk mengikuti mekanisme pengambilan SIM saya. Disana saya menemukan bahwa memang terjadi kesalahan dari polisi yang menilang saya. Petugas yang menilang saya tidak patuh hukum sebagaimana mekanisme tilang yang tertera dalam Perma Nomor 12 tahun 2016. Jujur, saya sangat kecewa dengan kejadian ini. Kepolisian yang seharusnya menegakan hukum namun ia sendiri sebagai penegak hukum melanggar aturan yang telah ada.
Ini menjadi cerminan realita hukum yang ada di Indonesia. Banyak pihak penegak hukum yang seharunya telah selesai dengan urusannya sendiri namun masih saja terus melakukan pelanggaran atau tidak tertib hukum. Dengan demikian maka bukan hal yang aneh apabila banyak orang yang melanggar hukum, karena penegak hukumnya sendiri tidak patuh akan peraturan yang ada.