Lihat ke Halaman Asli

Raihan Lubis

Seorang pembaca dan suka menulis

Setahun Gempa Palu: Masih Abai Jugakah Kita?

Diperbarui: 4 Oktober 2019   15:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

"Ko su matikah?"
"Belum, aku belum mati."
"Tapi kata mama, ko su mati."
"Tidak, aku belum mati."

Raja (9) menceritakan penggalan perbincanganya dengan sang kakak dalam mimpinya padaku, ketika dua bulan lalu aku mengunjunginya di Petobo, Sulawesi tengah. Kebetulan kami ke sekolah Raja untuk memutar film kampanye tentang kesehatan dalam keadaan darurat. Dalam mimpinya, Raja bertemu dengan kakaknya yang telah mati. Kakak perempuannya berusia 11 tahun dan menjadi salah satu dari seribu lebih korban bencana likuifaksi di Petobo, Sulawesi tengah, yang terjadi medio 28 September 2018 lalu- setelah gempa berkuatan M7.4 menghayak tanah di kawasan Petobo. Kini, setahun sudah kejadian itu.

"Mulanya kakakku sempat lari, dia baku tangan sama kawanku, tapi dia jatuh dan kemudian lumpur dari dalam tanah naik ke atas dan kakakku jatuh ke dalamnya. Setelah itu kami semua lari. Setelah itu aku dengar dari mama dan papa kalau kakak su mati." Sejurus kemudian Raja terdiam.

Jika aku menyaksikan kengerian tsunami yang meluluhlantakkan sebagian kota Banda Aceh, maka Raja menyaksikan bagaimana ganasnya tanah yang turun naik bergelombang dan mengeluarkan lumpur, mencair, kemudian menghisap kakaknya dan setelah itu, tanah menutup kembali- seperti tiada kejadian apapun. Aku butuh waktu lama menghilangkan rasa trauma dari gempa dan tsunami Aceh 2004. Entah kalau Raja.

"Kalau su hujan, takut. Kadang-kadang juga takut kalau su dengar itu suara petir," kata Raja lagi.

Tanah yang terbelah, naik ke permukaan, kemudian mencair, mengeluarkan lumpur dan menenggelamkan apapun yang ada di atasnya, sesungguhnya bukan cerita baru untuk orang-orang di Sulawesi tengah. Karena jejak-jejak bencana serupa terpatri dalam beberapa nama yang disematkan para nenek moyang.

"Bulili itu artinya berputar, karena dulu di situ tanah itu pernah berputar. Makanya tempat itu dinamakan begitu," kata Maria, salah seorang pengungsi asal Bulili yang kini tinggal di hunian sementara di Petobo. Bulili sebelum bencana merupakan daerah yang padat.

Dalam bahasa suku Kaili -yang merupakan suku asli dan mendiami banyak kawasan di Sulawesi tengah khususnya kabupaten Donggala- likuifaksi memiliki nama lain yaitu nalodo atau terbenam. Sementara itu, wilayah dataran tinggi Lore di Kabupaten Poso, disebut halodo yang juga punya arti terbenam.- sebuah nama yang dapat dimaknai sebagai peristiwa terbenamnya wilayah itu dalam satu kejadian gempa bumi besar kala itu. Sementara dI Pegunungan Gawalise, Salena, ada juga ada satu wilayah yang disebut kaomboa oleh masyarakat adat Kamalisi. Kaomboa berarti runtuh atau hilang.

Nama kota Palu sendiri berasal dari kata Topalu'e yang artinya tanah yang terangkat. Dulu sekali, Palu berawal dari kawasan lautan. Kemudian terjadi gempa dan pergeseran lempeng (palu koro) sehingga daerah yang tadinya lautan terangkat dan membentuk daratan lembah yang sekarang dikenal dengan nama Kota Palu.

Sesungguhnya, nenek moyang kita sudah mengingatkan anak cucunya lewat beragam pesan-pesan dalam berbagai nama  yang mereka sematkan- tidak hanya pada tempat tapi juga pada kisah-kisah dan syair. Sebagai kawasan cincin api, harusnya kita tak abai atau hanya menganggap itu sebuah legenda, dongeng apalagi hanya mitos.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline