Lihat ke Halaman Asli

Raihan DzakyFerdiansyah

Mahasiswa UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Hukum sebagai Gejala Sosial Belajar dari Theodore Julius Geiger

Diperbarui: 9 September 2023   18:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Theodore Julius Geiger, lahir pada tanggal 9 november 1891 di Munich, jerman. Beliau merupakan sosiolog german dan prof sosiologi pertama di Denmark, dan studi terpentingnya menyangkut tentang stratifikasi sosial dan mobilitas sosial. Mobilitas sosial merupakan pergerakan individu, keluarga, atau kelompok melalui sistem hierarki atau stratifikasi sosial. Jika mobilitas seperti itu melibatkan perubahan posisi, terutama dalam pekerjaan, tetapi tidak ada perubahan kelas sosial , itu disebut "mobilitas horizontal. Mobilitas vertical yaitu sebaliknya.

Menurut Geiger, Hukum bukanlah aturan formal dalam wujud undang-undang. Ia merupakan norma yang hidup dalam hati orang-orang. Karena itu, Geiger membedakan dua macam norma. Yang satu adalah "norma yang sebenarnya". Dan yang lain, ialah "norma yang tidak sebenarnya". Norma yang sebenarnya menunjuk pada norma-norma yang belum masuk aturan negara. Ia merupakan aturan yang habitual. Sedangkan norma yang tidak sebenarnya adalah normasatz, norma yang sudah dirumuskan dalam suatu perundangan negara.

Menurut Geiger, realitas suatu norma (yang sebenarnya) adalah terletak pada kenyataan bahwa norma itu terjelma dalam tingkah laku anggota-anggota masyarakat, dan (pasti) tiap orang akan bereaksi bila norma itu dilanggar.

Bagi Geiger, hukum (sebagai norma yang sebenarnya) merupakan bagian dari masyarakat yang dinamis. Masyarakat itu bukan benda. Ia merupakan "sebuah proses" (gesellschaft ist kein ding, sondern em prozess). Norma-norma hukum, dan berlakunya norma-norma itu tidak luput dari proses ini. Hukum harus dipandang sebagai kenyataan-kenyataan sosial yang dinamis juga.

Kiranya jelas, cara mengenal "norma yang sebenarnya" bukan dengan membuka kitab hukum, melainkan dengan cara melihat fakta. Pertama, bahwa orang-orang bertindak menuruti norma itu. Kedua, fakta bahwa jika orang tidak menuruti norma-norma itu, mereka dikenai sanksi. Lewat kedua fakta itulah, orang mengenal adanya norma hukum.

Memfungsikan Teori:

Dalam konteks permasalahan hukum di Indonesia kekinian, teori ini sangatlah tepat menjadi solusi alternatif dalam penanganan yang progresif. Hukum tidak dapat dilihat dalam dogmat yang sempit. Sebagai ilmu yang inter-disipliner, hukum mau tidak mau harus berafiliasi dengan ilmu lain, tidak terkeciali ilmu sosial. Bagi ilmu hukum yang hanya memandang secara inklusif ke dalam, tentunya akan meciptakan situasi arogansi terhadap masyarakat. Hal inilah yang terjadi dalam realitas hukum di Indonesia.

Selama ini, paradigma aparat hukum yang terbentuk adalah legal positivis. Hal ini sudah tidak relevan lagi, apabila kita berbicara konteks hukum modern yang menjunjung nilai keadilan. Begitu juga masyarakat Indonesia. Bagi bangsa Indonesia yang kaya akan suasana hukum adat, penerapan hukum tertulis sangatlah mengusik kepentingan mereka. Hal ini menjadi perhatian kita bersama, bagaimana pertarungan nilai kepastian hukum dan keadilan hukum dapat menemukan titik sinkronisasi.

 




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline