Lihat ke Halaman Asli

Raihan Azaki

Mahasiswa

Peristiwa Kotak Kosong Pada Pilkada

Diperbarui: 5 Oktober 2024   18:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

                                                                                                                         

Pemilihan kepada daerah serentak menjadi arena baru bagi rakyat Indonesia. Sebelumnya Indonesia juga pernah melaksanakan PILKADA serentak pada tahun 2015 untuk pemilihan Presiden dan wakil Presiden lalu pada tahap kedua yaitu pada tahun 2017 untuk pemilihan kepala daerah, kini Indonesia Melaksanakan PILKADA serentak lagi di tahun 2024. Dalam konteks demokrasi, dinamika politik dan pemerintahan lokal seperti ini akan menentukan bagaimana wajah demokrasi inodnesia secara nasional. Karena itu, PILKADA  serentak ini juga merupakan akses bagi masyarakat untuk berpartisipasi lebih luas, menghimpun banyak kepercayaan terhadap calon kandidat. Dengan kata lain, penekanan kadar demokrasi pada suatu pemilihan juga ditentukan oleh seberapa besar peranan masyarakat dalam menentukan siapa diantara mereka dipercaya dan layak untuk memimpin.

PILKADA sejatinya adalah menjadi sarana bagi rakyat untuk memilih pemimpin yang terbaik bagi rakyat dan daerahnya. Harapannya melalui PILKADA akan lahir pemimpin daerah yang mampu memenuhi ekspetasi rakyat secara mayoritas, mempercepat pertumbuhan ekonomi daerah, meningkatkan kesejahteraan dan menjaga kedaulatan rakyat secara bermartabat. Ekspetasi rakyat ini juga menuntut perubahan besar yang terwujud dalam kebijakan-kebijakan yang pro-rakyat. Selain itu, hail PILKADA juga harus mampu menghantarkan masyrakat pada kondisi sosial, politik dan ekonomi yang lebih baik.

PILKADA pada tahun 2024 kali ini menarik dikarenakan adanya calon tunggal (kotak kosong) pemilihan kepala daerah yang hanya diikuti oleh satu pasangan calon di suatu daerah yang melaksanakan pilkada. Peristiwa tersebut bisa terjadi karena kekuatan atau power pasangan calon yang muncul tersebut sangat besar apalagi bila calon tersebut incumbent. Kepentingan politik juga menjadi faktor penyebab lainnya sehingga partai politik berbondong-bondong mendukung satu calon. Sehingga tidak peluang bagi calon lain selain jalur independen yang prosesnya cukup ribet dan terbelit-belit. Pilakada calon tunggal ini akan tetap terlaksana dengan mekanisme yang hampir sama dengan pilkada dengan dua atau lebih calon.

Karena pada prakteknya pasangan calon tunggal akan bersaing atau berhadapan juga melawan kotak kosong atau kolom kosong di kertas suara. Tentu saja pihak yang kontra dengan calon tersebut akan mensosialisasikan untuk mendukung kotak kosong dengan berbagai taktik dalam menjatuhkan calon tunggal. Peran partai politik sejatinya di klaim memiliki dominasi kuat dalam perhelatan pesta demokrasi, sehingga teradang menepakikan peran dan fungsi dari pemilik kedaulatan itu sendiri yaitu rakyat. Keadaan dari munculnya "calon tunggal" merupakan keadaan yang secara normatif tidak terbayangkan, tidak terduga, bahkan minus rekayasa.

Hal yang berarti bahwa demokrasi secara empirik dalam implementasinya terus berkembang dan dipengaruhi oleh sistem politik yang terjadi di daerah tersebut.  Dalam Pasal 54D diatur, pemenang pilkada dengan calon tunggal harus memperoleh suara lebih dari 50 persen suara sah. Apabila suara yang diperoleh tidak mencapai lebih dari 50%, maka pasangan calon yang kalah boleh mencalonkan lagi dalam pemilihan berikutnya.

Sedang dalam pasal 25 ayat 1 PKPU Nomor 13 Tahun 2018 disebutkan bahwa apabila perolehan suara pada kolom kosong lebih banyak dari perolehan suara pada kolom foto pasangan calon, KPU menetapkan penyelenggaraan pemilihan kembali pada pilkada periode berikutnya. Sementara di ayat (2) disebutkan "Pemilihan serentak berikutnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diselenggarakan pada tahun berikutnya atau dilaksanakan sebagaimana jadwal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pemicu adanya calon tunggal di PILKADA karena calon yang maju memborong dukungan semua partai politik, sehingga menutup peluang bagi putra daerah lain untuk dapat maju menjadi calon wali kota. Artinya dengan modal yang besar, calon kepala daerah mengunci kesempatan bagi calon yang lain untuk mendapat dukungan. Meski hal ini tidak juga dapat disalahkan, karena sejatinya pilkada merupakan pertaruhan untuk dapat menang dan menduduki kekuasaan. Akan tetapi yang salah adalah ketidakberanian melakukan kompetisi dalam pertarungan. Lawan dikalahkan sebelum maju dalam pertempuran. Bahkan kata yang pantas untuk kondisi ini yaitu adanya egoisme kekuasaan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline