Lihat ke Halaman Asli

Raihan Arkan

Mahasiswa aktif PBSI S1 Universitas Ahmad Dahlan

Rantai Makanan

Diperbarui: 7 Agustus 2024   23:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Sudah kau hubungi nomornya?"

"Sudah. 3 kali kuhubungi Tak ada jawaban."

"Bagaimana dengan alamatnya?"

"Aku sudah kesana. Hanya Rumah terbengkalai. Orang gila dan gelandangan saja yang kesana."

Fredrick memperbaiki posisi duduknya. Mengisap rokoknya dalam-dalam kali ini dia memasang muka serius. "Kau sudah pastikan kalau kertas itu petunjuk untuk bertemu kembali dengan Morgan?"

Kalista mengeluarkan 2 carik kertas usang bercorak darah kering. Kertas yang berisi alamat dan nomor telepon. Satunya lagi kertas surat. Surat itu surat terakhir yang ditulis Morgan. 

Entah kapan aku akan menghilang. Tekanan para tengkulak curang begitu brutal hari-hari ini. Tidak ada tempat yang aman untuk kebenaran.

Kalista menghela nafas sejenak untuk menenangkan diri. "Entahlah, setidaknya itu yang kuamini."

Malam itu bulan menampakan badannya setangah dari kesempurnaan. Menerangi pinggiran kota San Marimo. Suasana kota sepi. Hanya desir ombak dan gesrekan dedaunan yang terdengar. Di sebuah gang kecil, terdengar keributan dan suara pukulan mengalun mengiringi desir angin.

"Sudahi permainanmu! Jangan kau coba-coba menentang Charter. Sekali lagi kau mencoba berulah, kau tak akan tenang walau kematian menjemputmu."

Tak lama kemudian. Dua tukang pukul itu pergi meninggalkan Morgan terkapar. Charter Itulah nama tengkulak terbesar di San Marimo. Tengkulak yang bengis dan licik. Tidak ada kata untung jika melakukan niaga dengannya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline