Lihat ke Halaman Asli

Raihan Barishifa

Ada kebenaran, ada kepercayaan

Ancaman Geopolitik Laut China Selatan Bagi Ibu Kota Nusantara

Diperbarui: 18 Mei 2024   14:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

LATAR BELAKANG

Laut China Selatan telah lama menjadi pusat ketegangan geopolitik di kawasan Asia Tenggara, melibatkan klaim teritorial yang saling berlawanan dari berbagai bangsa dan negara, termasuk China, Filipina, Vietnam, Malaysia, Brunei, dan tentu saja Indonesia. Di tengah kondisi geopolitik yang sudah kompleks ini, Indonesia berada dalam tahap yang monumental, yaitu pembangunan Ibu Kota Nusantara di Pulau Kalimantan. Proyek pembangunan ambisius ini tidak hanya merupakan upaya untuk memindahkan pusat pemerintahan dari Jakarta yang kegiatannya begitu padat, tetapi juga sebagai strategi untuk meningkatkan pemerataan pembangunan, penduduk, dan ekonomi, bahkan sebagai "lokomotif" bagi pembangunan infrastruktur di berbagai daerah seluruh Indonesia. Namun, berada lebih dekat dengan Laut China Selatan, Indonesia menghadapi tantangan geopolitik yang dapat mempengaruhi kedaulatan dan keamanan nasional (kamnas), lebih khususnya dalam konteks pembangunan Ibu Kota Nusantara dan pemerataan pembangunan.

KLAIM TERITORIAL DAN ANCAMAN KEDAULATAN

China, dengan "Sembilan Garis Putus-Putus"nya, mengklaim hampir seluruh Laut China Selatan, termasuk beberapa wilayah yang berada dalam Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia. Klaim teritorial ini telah menimbulkan ketegangan, terutama di sekitar Natuna yang kaya akan sumber daya alam. Keberadaan Ibu Kota Nusantara tidak hanya menarik perhatian dunia internasional tetapi juga berpotensi menjadi titik panas baru dalam percaturan dan persaingan geopolitik di daerah konflik ini.

Tidak hanya itu, melainkan Indonesia sangat patut memperhatikan potensi ancaman, tantangan, hambatan, dan gangguan (ATHG) terhadap pertahanan dan kedaulatan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), termasuk peningkatan kemampuan militer China di Laut China Selatan, yang mencakup potensi pengerahan rudal balistik beserta alat utama sistem persenjataan (alutsista) lainnya di atas pulau-pulau yang akhir-akhir ini direklamasi oleh China, seperti Spratly (Nansha) dan Paracel (Xisha). Hal ini tidak hanya meningkatkan ketegangan di kawasan tetapi juga menimbulkan kekhawatiran tentang keamanan dan kedaulatan negara-negara anggota ASEAN, termasuk Indonesia, terutama mengingat beberapa wilayah Indonesia berada dalam jarak yang relatif dekat dengan daerah konflik tersebut.

PENGARUH TERHADAP IBU KOTA NUSANTARA

Pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) di Pulau Kalimantan yang berdekatan dengan Laut China Selatan, membawa konsekuensi geopolitik yang signifikan. Pembangunan infrastruktur dan peningkatan kapabilitas militer di wilayah perbatasan menjadi penting untuk mengamankan wilayah dari klaim oleh pihak negara asing. Selain itu, Indonesia harus memperkuat diplomasi di atas laut (maritim), demikian tidak hanya menegaskan kedaulatan tetapi juga untuk memastikan bahwa pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) tidak terhambat oleh ketegangan geopolitik.

PEMBANGUNAN EKONOMI DAN KEAMANAN NASIONAL

Laut China Selatan merupakan jalur pelayaran yang begitu penting dan vital dengan sebagian besar pelayaran Indonesia melintasinya. Keamanan jalur pelayaran ini menjadi sangat esensial untuk pembangunan ekonomi Indonesia, termasuk proyek pembangunan Ibu Kota Nusantara. Ancaman militer seperti blokade oleh negara asing mengancam, menantang, menghambat, dan mengganggu arus logistik, dan ini dapat merugikan ekonomi Indonesia. Maka dari itu, memastikan keamanan laut (maritim) terjaga dan terlindungi patut menjadi prioritas utama.

LANGKAH STRATEGIS INDONESIA

Menghadapi ancaman, hambatan, tantangan, dan gangguan (ATHG) ini, Indonesia telah mengambil beberapa langkah strategis. Pertama, peningkatan kapasitas pertahanan di wilayah perbatasan, termasuk pengiriman pasukan dan alat utama sistem senjata (alutsista) militer di Laut Natuna. Kedua, diplomasi yang bebas dan aktif di forum internasional untuk menegaskan posisi Indonesia terhadap klaim unilateral dan mempromosikan penyelesaian sengketa secara damai dan tertib sesuai hukum internasional. Ketiga, kerja sama dengan negara-negara anggota ASEAN lainnya untuk menghadapi klaim dan agresi militer serta memperkuat posisi pertahanan di suatu kawasan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline