Lihat ke Halaman Asli

dade samsul rais

Mantan jurnalis, sekarang bergerak di bidang konsultan media

Militan

Diperbarui: 21 Januari 2019   13:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Militan
Kata militan merujuk kepada seseorang atau kelompok yang penuh semangat, agresif, bahkan ekstrem untuk mencapai suatu tujuan.

Ini yang terjadi pada kubangan politik negeri ini, terutama sejak pilpres 2014, pilkada DKI, hingga sekarang menjelang pilpres 2019. Diksi kubangan saya pilih untuk memantaskan dengan isi atau konten politik kontestasi yang terjadi; penuh kotoran, sampah dan daki-daki politik.

Agama diobral sedemikian murah, fitnah, hoax, membual, telah menjadi politik panggung yang biasa, tanpa merasa cacat moral. Dan, semuanya terus diresonansi secara militan, dipabrikasi secara sistematis, sehingga menjadi hidangan politik kubangan nan busuk, namun harum mewangi bagi para penikmatnya.

Sebagai orang yang tidak mendukung Prabowo---karena alasan rasional dan sangat waras---saya kerap terlibat diskusi bahkan sampai sangat panjang dengan para militan pendukung capres itu.

Saya akui mereka sangat militan, solid, dan tentunya sangat ngotot. Tidaklah mengherankan, karena kubu itu didukung PKS yang dikenal memiliki pendukung militan, serta kelompok Islam politik (konservatif) yang militansinya sangat-sangat tinggi.

Apalagi kelompok Islam politik konservatif ini punya agenda besar mewujudkan ideologi transnasional. Tujuan itu akan terwujud melalui kekuasaan. Makanya, mereka tentu sangat ngotot untuk menjadi bagian dari kekuasaan.

Meski kadang tanpa data atau wawasan literasi yang memadai, mereka tetap ngotot pendapatnyalah yang benar, pendapat orang lain pasti salah. Dan menariknya, isu-isu yang mereka pakai sebagai reason diskusi, dan ujungnya menjatuhkan kubu lain, seragam, yakni agama, komunis (PKI), asing-aseng, tenaga kerja asing, genetik capres lawan, hingga (keburukan) fisik capres kubu lawan.
Makanya, di awal saya katakan, istilah pabrikasi, karena mereka 'bekerja' seperti dikomando dirijen dalam sebuah 'konser' besar.            

Ada dua pengalaman diskusi saya dengan mereka yang cukup panjang (karena sampai berhari-hari, dan mereka main keroyok hehehe), satunya lagi ujungnya lucu dan menghibur membuat saya tertawa berguling-guling.

Pertama, saya terlibat diskusi dengan seorang perempuan, yang secara tidak langsung ia mengaku seorang dosen. Dia dengan sangat ngotot soal agama (Islam) dan umatnya yang dipinggirkan, ulama dikriminalisasi, dan puncaknya Islam dinistakan oleh seorang bernama Ahok. Makanya, kata dia, saatnya umat Islam bangkit atas penindasan itu, dengan tidak memilih Ahok karena sesuai Al Maidah 51, serta menjungkalkan Jokowi di pilpres 2019 karena pendukung penista agama.

Debat terus-menerus lewat medsos, yang intens tercatat dua hari. Seminggu kemudian debat dilanjutkan lagi. Kepadanya, saya katakan, Ahok dinilai menistakan agama, oke saya bisa sepakat apalagi yang bersangkutan telah menjalani vonis pengadilan.

Tapi tentang yang lain, saya masih ajak dia berdebat. Salah satunya, tentang Al Maidah 51, terutama dalam hal konsistensi umat Islam menjalankannya. Pertanyaan saya ke dia, kenapa umat islam ambigu dalam menjalankan ayat suci ini. Kenapa di Pilkada DKI, ayat ini didogmatis secara massif untuk dituruti, tetapi di pilkada lain, justru tidak dipakai.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline