HAMPIR dua pekan ini, perhatian publik tertuju pada seseorang bernama Dimas Kanjeng Taat Pribadi. Dialah Raja Anom bergelar Sri Raja Prabu Rajasa Negara dari Probolinggo, yang dinobatkan oleh Asosiasi Kerajaan dan Kesultanan Indonesia (AKKI). Senin, 11 Januari 2016. Dalam beberapa foto dan rekaman video yang beredar luas, ia memang menunjukkan ke-raja-annya, minimal dari kostum yang ia kenakan.
Tapi bukan itu yang kini membuatnya terkenal. Sang raja pemilik padepokan ini tersangkut kasus kriminal dengan beberapa sangkaan. Sampai sekarang setidaknya, telah dua status tersangka ia sandang, yakni kasus pembunuhan serta penipuan.
Kasus pembunuhan, berkaitan kematian dua ‘santrinya’ Ismail dan Abdul Gani. Dari sangkaan polisi, sang raja diduga mengotaki pembunuhan mereka, lantaran dua anak buahnya itu disebutkan akan membongkar praktek penipuan penggandaan uang yang dilakukan sang raja.
Kemudian praktek penipuan, berkaitan penggandaan uang itu tadi. Sudah ada ‘santri’ yang mulai melaporkan ke kepolisian. Penggandaan uang yang menjanjikan hasil berlipat-lipat ternyata sampai sekarang nihil. Bahkan, uang ‘modal’ pun tidak kunjung kembali kepada sang pemilik.
Kasus ini sepertinya akan terus berkembang mengingat prosesnya masih terus berjalan. Apakah nantinya akan terkuak juga praktek penistaan agama? Kita tunggu saja mengingat dalam menjalankan padepokannya, sang raja selalu membungkusnya dengan bingkai-bingkai agama.
Kini, ketika Dimas Kanjeng telah berada di jeruji besi, pengikutnya mulai ada yang menyadari bahwa mereka ‘sepertiya’ tertipu. Tapi tak sedikit yang masih berkeyakinan, bahwa Dimas Kanjeng adalah pahlawan mereka, hanya ‘tuahnya’ saja yang belum sempat turun dan mereka nikmati.
Salah satu yang masih menyakini ‘kesaktian’ Dimas Kanjeng adalah Ketua Yayasan Padepokan Dimas Kanjeng, Marwah Daud Ibrahim. Hingga kini intelektual dan politisi senior, selain anggota ICMI dan MUI ini, masih bersikukuh, bahwa Dimas Kanjeng, bukan melakukan penggandaan uang, melainkan ‘mengadakan’ uang melalui ‘karomah’ yang dimilikinya. Sebuah argumentasi Bu Marwah yang sulit saya terima dari dimensi manapun.
Tapi, terlepas dari pro kontra atas kasus ini serta akan bermuara di mana ‘drama’ sang raja, saya melihat fenomena ini sebenarnya membawa pesan kepada kita (publik) dan terutama bagi pemerintah sebagai eksekutor kebijakan negara serta negara (state) itu sendiri sebagai pelindung dari manusia-manusia yang tinggal di wilayah teritori bernama Indonesia.
Kemunculan Dimas Kanjeng berikut atribut-atributnya --semula dipersepsikan sebagian masyarakat sebagai pembawa kabar gembira, tak lepas dari potret realitas kehidupan sosial ekonomi masyarakat, terutama lapisan menengah bawah.
Di mana letak ketersangkutpautannya? Kita pahami bersama, bandul ekonomi kita makin hari makin bergerak ke sudut kapitalisme. Konsekuensi atas ‘pilihan’ itu adalah ketimpangan ekonomi yang makin menunjukkan wujudnya, kian curam dan menganga. Yang kaya, dengan sumber ekonomi yang dimilikinya, makin terus mengeruk kekayaan tanpa batas. Sementara, masyarakat lainnya, makin kehilangan sumber (apapun), baik untuk sekadar survive, apalagi untuk modus pengembangan diri.
Puncak dari ketidakmampuan masyarakat terpinggirkan ini adalah akumulasi frustasi baik secara psikologis maupun ekonomi. Dalam ketidakberdayaan itu, rasionalitas alam berpikir kelompok masyarakat ini makin rapuh. Tidak mampu berpikir jernih. Mereka dengan mudah teracuni oleh tawaran-tawaran instan yang menjanjikan keuntungan-keuntungan ekonomi, tanpa harus bersusah payah bersaing secara wajar dalam sebuah area besar persaingan hidup.