Budaya brandu melahirkan sebuah fenomena nyata terkait kemiskinan yang sulit dientaskan. Budaya yang membuat kerdil logika dan terbelakangnya literasi. Tentu saja harus dipertanyakan, mengapa manusia yang dianugerahi akal untuk berpikir agar memiliki pemahaman yang mustanir (cemerlang) bisa memakan bangkai hewan dan menyebabkan virus antraks merajalela?
Sebuah berita mengejutkan terjadi, seperti dikutip dari republika.co.id.gunungkidul -- tradisi brandu di Padukuhan Jati, Kelurahan Candirejo, Kapanewon Semanu, Kabupaten Gunungkidul diduga yang menjadi penyebab sebanyak 87 warga terpapar antraks. Menurut Kepala Dukuh (Dusun) Jati, Sugeng, tradisi tersebut memang sudah mengakar sejak nenek moyang mereka. Tujuannya baik, meringankan kerugian pemilik ternak yang ternaknya mati, entah karena sakit atau sebab lain.
Seyogianya memakan bangkai hewan itu bahaya, tradisi atau budaya yang seharusnya ditiadakan sejak lama, mengapa hingga kini masih terjaga?
Dusun Jati ini dihuni oleh 87 kepala keluarga mayoritas masyarakatnya adalah nonmuslim. Meskipun yang muslim tidak mengonsumsi, pada akhirnya harus ikut andil membeli. Daging hewan bangkai di dalam Islam tentu dihukumi haram.
Dalam kasus ini, mengakibatkan 87 dari 280 warga menjadi suspek antraks. Satu lansia meninggal dunia di RS Sardjito. Antraks ini adalah penyakit menular pada hewan yang disebabkan oleh kuman Bacillus anthracis, bisa juga menyerang manusia dengan bisul bernanah.
Mengapa tradisi ini masih ada? Apakah negara membiarkan budaya yang menyebabkan masyarakat semakin terbelakang? Apakah ini bagian dari kelalaian pemangku jabatan?
Padahal perkembangan zaman begitu pesat. Modernisasi menghiasi setiap lini kehidupan, tetapi tak mampu mengentaskan tradisi yang menyebabkan virus penyakit berkeliaran dan kematian mengintai kapan saja.
Di dalam Islam, Allah mengatur hal-hal yang tidak boleh dikonsumsi, termasuk bangkai hewan, kecuali ikan dan belalang. Diharamkan karena memang membahayakan. Terlebih jika sudah menyebarkan virus mematikan.
Brandu adalah sebuah potret buram dan masa suram. Memperlihatkan minimnya edukasi pangan dan kesehatan. Seharusnya pemerintah memberikan edukasi agar tradisi tersebut tidak lagi digunakan. Sejatinya kemiskinan telah membutakan nalar masyarakat, membuat mereka tak lagi memikirkan halal dan haram, sejahtera hanya isapan jempol semata. Sehingga memakan bangkai pun tak mengapa. Cikal bakal antraks ini berawal dari kemiskinan yang menggurita.
Perekonomian kapitalisme membuat kemiskinan tidak kunjung selesai. Regulasi harta hanya berputar di para kapitalis semata, sehingga masyarakatlah yang menanggung beratnya ketidakadilan yang ada.
Regulasi pemerintah hanya berkutat di kepentingan korporasi. Kasus antraks ini tak hanya membutuhkan satu solusi, tetapi urgensi jalan keluar yang sistemis.