Lihat ke Halaman Asli

Pragmatisme dan Perpolitikan di Indonesia

Diperbarui: 30 November 2023   00:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Pragmatisme berasal dari bahasa Yunani, pragma yang berarti perbuatan atau tindakan. Jika dalam bahasa Inggris disebut pragmatic yang mengacu pada hasil praktik (Zaprulkhan, 2016). Encyclopedia of Knowledge menyatakan pragmatisme adalah gerakan filosofis yang menyatakan makna dan kebenaran dari setiap gagasan adalah fungsi dari hasil praktisnya (Hadinatha, 2018). 

Pragmatisme menyatakan ukuran kebenaran diuji melalui dapat tidaknya dilaksanakan dan direalisasikan untuk membawa dampak positif, kemajuan, dan manfaat. Bila dihubungkan dengan etika, pragmatisme akan menghasilkan utilitarianisme yang memandang baik dan buruknya tindakan manusia dari segi manfaatnya (Suseno, 1991).

Pragmatisme tidak mengangap adanya hal-hal metafisik, sehingga pragmatisme meniadakan Tuhan dalam perilaku (Hadinatha, 2018). Dalam kaitannya denga perilaku politik, maka pragmatisme adalah perilaku politik yang disesuaikan dengan kondisi dan tujuan praktis daripada tujuan-tujuan yang bersifat ideologis (Heyweood, 1992). 

Pragmatisme menganganggap kebenaran terbatas pada kebenaran yang dapat dipraktekkan, dilaksanakan dan membawa dampak nyata. Pragmatisme yang mengacu pada kebenaran-kebenaran praktis rupanya menimbulkan kelemahan-kelemahan yang secara terang-terangan dapat kita lihat dari budaya perpolitikan di Indonesia.  Menurut Mangunhardjana (1997), pragmatisme dapat menjadi paham egoistis karena dapat dipraktekkan, dilaksanakan untuk mendatangkan dampak positif dan manfaat merupakan unsur yang mudah menjadi unsur pribadi.

Pragmatisme dalam politik tercermin dari sikap politisi yang menjadikan politik sebagai sarana untuk mencapai keuntungan dan kepentingan pribadi (Mustofa dan Maharani, 2008). Para politisi bersikap pragmatis artinya berpolitik untuk memenuhi kepentingan pribadinya bukan murni untuk memperjuangkan kepentingan-kepentingan masyarakat. Kaitan pragmatisme dengan etika dapat diamati dengan jelas melalui perilaku-perilaku politik yang terjadi di Indonesia. Perilaku-perilaku politik yang berisifat pragmatis dapat terlihat saat menjelang pemilu, pasca pemilu, hingga saat menduduki jabatan tertentu.

Baru-baru ini, pragmatisme dalam politik terlihat dari hebohnya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait batas usia calon presiden dan wakil presiden. Putusan tersebut menyebutkan capres-cawapres yang pernah terpilih melalui pemilu, baik sebagai DPR/DPD, Gubernur, atau Walikota dapat mencalonkan diri meskipun belum berusia 40 tahun. Putusan tersebut dianggap kontroversial karena dilakukan jelang pemilu 2024 dan sangat kental dengan politik kepentingan. Putusan MK tersebut rupanya memang sarat dengan tujuan untuk "memuluskan jalan" golongan tertentu menjadi bakal calon presiden maupun wakil presiden. Praktik Pragmatisme utilitarianisme jelas terlihat pada putusan MK yang berdasarkan pada manfaat praktis dan kepentingan golongan tertentu bukan berdasarkan tujuan yang bersifat ideologis.  Para elit politik mempertontokan perilaku politik yang menyimpang dan tega "mengotak-ngatik" undang-undang untuk dapat melanggengkan kekuasaan.

Pragmatisme menjelang pemilu juga terlihat pada pembentukan koalisi-koalisi politik. Istilah "dulu lawan, sekarang kawan" rupanya sangat cocok untuk menggambarkan perilaku-perilaku politik yang terjadi. Para elit politik akan menjadi kawan jika kepentingan mereka sama, dan akan menjadi lawan politik bila kepentingannya berseberangan.

Pasca pemilu, sikap pragmatisme dalam perpolitikan juga terus berlanjut. Hal ini terlihat dari adanya praktik "tawar menawar" jabatan. Adanya politik "bagi-bagi kursi" nampaknya sudah menjadi rahasia umum di kalangan elit politik. Kendati rakyat mengetahui dan menyadari "rahasia" tersebut tetap saja kritik-kritik dari rakyat hanya dianggap angin lalu. Praktik-praktik tersebut dapat jelas diamati pada pemilihan menteri yang kebanyakan tidak didasarkan pada komptensinya melainkan didasarkan pada politik hutang budi, dan tawar menawar kekuasaan. Begitu juga jabatan-jabatan lain misalnya pada BUMN yang diduduki oleh orang-orang yang berasal dari satu golongan tertentu.

Hasil dari politik bagi-bagi jabatan menyebabkan tidak kompetennya para pemangku kekuasaan menyelesaikan berbagai persoalan Negara. Para elit yang terjun dalam dunia politik cenderung berupaya untuk mencapai kepentingan pribadinya bukan murni mengabdi untuk negara. Haryatmoko (2014) berpendapat orang yang terjun dalam dunia politik masih memiliki mentalitas animal laborans, yaitu orientasi yang ingin dicapai hanya untuk eksistensinya belaka.

Para pelaku politik cenderung menjadikan politik sebagai mata pencaharian utama. Berkaitan dengan hal ini, tidak heran para politikus menjadikan politik sebagai ajang untuk mengumpulkan materi sebanyak-banyaknya. Hal tersebut secara nyata terlihat dari korupsi yang nampaknya menjadi "tradisi" di kalangan pejabat.

Perilaku pragmatis yang ditunjukkan oleh kalangan politisi agaknya didasari oleh sikap untuk mendapatkan keuntungan dengan cara tidak mematahui norma dan aturan, serta tidak menjalankan kewajibannya sebagaimana mestinya. Perilaku-perilaku pragmatis yang dipertontonkan barangkali juga disebabkan oleh meninggalkan nilai-nilai agama dan meniadakan Tuhan dalam berperilaku.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline