Lihat ke Halaman Asli

Rahsya NigitamaMuhammad

Mahasiswa Universitas Padjadjaran

Reproduksi Sosial dan Kekerasan Domestik: Analisis Ekonomi Politik terhadap Budaya Kekerasan dalam Rumah Tangga

Diperbarui: 29 Desember 2023   14:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Pendahuluan

Terdapat sebuah gagasan yang mengendap jika kita memikirkan kata "keluarga"---terlepas bahwa hal itu memang benar atau tidak. Apa yang dimaksud keluarga seringkali terdiri dari seorang ayah, ibu, dan anak-anaknya. Kemudian, apa peran-peran mereka dalam masyarakat? Seorang ayah seringkali dianggap sebagai tulang punggung keluarga. Ayah merupakan seseorang yang pergi ke kantor, pabrik, atau tempat kerja mereka. Di sana mereka bekerja dan seusainya, pulang malam dan memakan makanan yang dihidangkan oleh sang istri. Dengan adanya pikiran bahwa sang suami sudah bekerja dari pagi sampai malam, peran dia di rumah hanyalah untuk mempersiapkan diri kembali pada hari esok, yaitu dengan makan dan tidur. Bagaimana dengan sang istri? Dia merupakan seorang yang harus menghadapi kerja-kerja domestik, seperti mencuci piring, memasak, menyiapkan bekal untuk suami dan anak-anaknya, membersihkan rumah, dan sebagainya---terlepas dari dia seorang pekerja di luar rumah pula atau bukan. Kegiatan-kegiatan yang bersifat domestik ini cenderung dibebankan kepada istri atau perempuan di dalam rumah. Perempuan di dalam rumah adalah seorang homemaker atau ibu rumah tangga. Muncul beberapa pertanyaan yang hadir dari persepsi keluarga seperti ini. Apakah pendefinisian "keluarga" yang seperti ini memang begitu adanya, atau justru merupakan hal yang dibentuk dengan adanya kebutuhan untuk beradaptasi seiring zaman? Apakah fenomena keluarga tradisional seperti ini hadir dari ruang hampa, atau justru merupakan sesuatu yang bergantung kepada faktor historis yang pada akhirnya membentuk pola keluarga seperti ini?  Apakah hal yang dilakukan oleh suami dan istri itu keduanya merupakan kerja? Jika iya, mengapa pekerjaan domestik yang dilakukan oleh istri seringkali tidak dibayar?

Jika pekerja pergi ke pabrik untuk memproduksi sebuah komoditas, lalu siapa yang memproduksi pekerja tersebut? Bagaimana pekerja tersebut dapat memperoleh sandang, pangan, dan papan yang dibutuhkan agar pekerja tersebut bisa pergi ke pabrik. Kerja-kerja yang hadir untuk mengkondisikan pekerja disebut sebagai kerja-kerja reproduksi. Kerja reproduksi ini erat hubungannya dengan keluarga, di mana dalam kapitalisme, pernikahan secara monogami dianggap sebagai pernikahan yang ideal dengan adanya pemisahan antara kerja-kerja produktif---yang dilakukan oleh suami---dan kerja-kerja reproduksi---yang dilakukan oleh istri.

Dalam rezim kapitalisme global ini, beragamnya kesenjangan ekonomi hadir di dalam berbagai rumah tangga. Berbagai rumah tangga tersebut mengalami dinamikanya masing-masing dalam keputusan pembagian kerja di dalam keluarga yang dideterminasi oleh situasi ekonomi serta faktor historis yang ada. Sebagai contoh, berdasarkan riset "Gender dan Reproduksi Sosial: Perspektif Historis" yang dituliskan oleh Barbara Laslett dan Johanna Brenner (1989), munculnya pembagian ranah privat dan ranah publik hadir dengan adanya kehadiran keluarga kelas menengah baru atau keluarga borjuis. Laslett dan Brenner (Ibid) juga menjelaskan bahwa laki-laki bukanlah lagi pengelola kerja yang dilakukan oleh keluarga, melainkan menjadi seorang tulang punggung yang mendapatkan penghasilan untuk menopang kehidupan keluarganya. Dengan ini, muncul juga pembagian mengenai siapa yang bekerja di ranah domestik atau ranah privat, dan yang bekerja di ranah publik. Sedangkan di kalangan rumah tangga kelas pekerja, masih terdapat adanya pembagian kedua ranah. Akan tetapi, ranah yang dilaksanakan oleh perempuan kelas pekerja tetap melakukan aktivitas---seperti bekerja di ranah publik untuk mempertahankan tantangan ekonomi keluarga (Ibid).

Di dalam ranah privat, tidak jarangnya kita mendengar tentang kasus kekerasan dalam rumah tangga. KDRT atau kekerasan domestik ini merupakan sebuah masalah yang selalu ada dari waktu ke waktu. Dikutip dari laman Kemenpppa (Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak) Republik Indonesia, Kekerasan yang hadir di rumah tangga, dari awal tahun 2023 sampai tulisan ini dibuat berada pada angka 16.242 kasus. Belasan ribuan kasus tersebut mencakup 58.4% dari kasus kekerasan berbasis gender yang ada berdasarkan tempat kejadian. Hal ini menunjukkan bahwa kekerasan domestik merupakan sesuatu yang sangat serius dan selalu ada sampai sekarang. Kekerasan domestik ini biasanya dilakukan oleh orang yang mempunyai kuasa---di dalam kasus keluarga yaitu laki-laki dewasa---secara materil maupun berdasarkan hierarki gender, yang dilakukan kepada kaum yang tersubordinasi---yang seringkali adalah perempuan. Kekerasan berbasis gender ini tentu saja bukan hadir karena hal tersebut merupakan hal yang naluriah bagi pelaku, tetapi hal tersebut hadir karena adanya ketimpangan relasi kuasa dari gender-gender yang ada, di mana laki-laki hadir sebagai yang dominan karena adanya patriarki.

Hal yang perlu dipertanyakan adalah kenapa kekerasan domestik itu selalu ada? Kenapa sistem keluarga tradisional yang mengedepankan kepentingan sang suami atau laki-laki di dalam rumah tangga, selalu diperpetuasi hingga sangat sedikit alternatif yang ada? Kenapa sistem keluarga yang problematik ini selalu ada? Apa ada kaitannya keluarga sebagai institusi terkecil di masyarakat menjadi tempat kepentingan kapital dengan adanya kerja reproduksi yang tidak dibayar? Kenapa ketimpangan sosial ini selalu direproduksi, dan direproduksi oleh siapa?

Maka dari itu, muncul dua pertanyaan utama dalam tulisan ini. Pertanyaan pertama adalah Bagaimana keluarga sebagai institusi terkecil di masyarakat menjadi tempat bereproduksinya kekerasan domestik? Sedangkan pertanyaan kedua adalah bagaimana keluarga sebagai institusi terkecil di masyarakat menjadi ruang tumbuhnya reproduksi sosial?

Patriarki sebagai Sumber Kekuasaan Laki-Laki dalam Keluarga

Kata "Patriarki" dalam bahasa yunani merupakan ayah yang mengatur keluarga. Istilah tersebut memiliki konotasi kekuasaan, hubungan keluarga, dan hiearki sosial. Dengan adanya patriarki, Laki-laki mempertahankan privilesenya dengan mengontrol perempuan dan siapapun---termasuk anak-anak---yang dapat mengancam posisi kekuasaannya. Dengan adanya patriarki, perempuan dianggap sebagai sesuatu yang lebih rendah dibandingkan dengan laki-laki karena adanya pendefinisian kultur mengenai siapa yang lebih rendah, yaitu perempuan.

Mudau dan Obadire (2017) mengungkapkan bahwa patriarki dapat dialami di mana saja di Afrika Selatan dari berbagai kelompok etnis dan ras. Menurut Stromquist (2014) Patriarki di Afrika selatan mewujudkan dirinya dengan bagaimana patriarki mengontrol seksualitas dan fertilitas perempuan. Dalam banyak kasus, laki-laki mengontrol perempuan dalam ranah privat dan mereka dipaksa untuk melakukan sesuatu yang tidak mereka inginkan. Jika mereka menolak, terdapat kemungkinan kekerasan dan pemerkosaan di dalam keluarga.

Riset yang dilakukan oleh Mudau dan Obadire (2017) menunjukkan bahwa aspek dari patriarki terdapat di dalam beberapa bentuk, yaitu pengambilan keputusan dalam keluarga, kepercayaan budaya mengenai pelaksanaan pernikahan, komunikasi di antara suami dan istri, kepercayaan laki-laki mengenai kontrasepsi, jenis kelamin yang lebih disukai pada anak di dalam keluarga, dan praktik-praktik patriarki di dalam keluarga. Di dalam pengambilan keputusan, laki-laki menentukan berapa banyak anak yang akan dilahirkan. Dengan adanya patriarki, aspek kehidupan perempuan termasuk proses reproduksi, jumlah anak, dan bentuk kerja yang dilaksanakan oleh perempuan dikontrol oleh laki-laki. Kemudian dalam proses komunikasi, biasanya ada seorang "bibi" yang menjadi mediator di dalam keluarga. Namun, tidak sedikit pula laki-laki yang mengkomunikasikan keputusannya secara langsung, dengan pengaruh kepercayaan tradisi bahwa perempuan tidak boleh menyuarakan keresahan dan perasaannya. Mengenai kontrasepsi, laki-laki tidak menerima penggunaan kontrasepsi modern untuk pencegahan kehamilan. Laki-laki di sini menggunakan metode withdrawal atau keluar di luar. Mengenai jenis kelamin yang lebih diinginkan, banyak laki-laki yang lebih menyukai anak laki-laki dibanding perempuan karena ada anggapan bahwa laki-laki bisa menjadi kepala keluarga. Jika perempuan gagal melahirkan anak laki-laki, suaminya akan mencari perempuan lain yang bisa dinikahi. Semua perempuan yang menjadi objek penelitian setuju bahwa patriarki merugikan perempuan. Akses mengenai pendidikan pun dianggap tidak penting agar perempuan bisa bergantung kepada mereka dan memberikan laki-laki kesempatan untuk mengontrol mereka.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline