Lihat ke Halaman Asli

Rahmi Yanti

Mahasiswa

Kakek Baik Hati

Diperbarui: 5 Agustus 2024   19:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kamera Pribadi

Setelah menyelesaikan tugasku. Aku tergopo-gopo mengembalikan lembar kertas yang berisi tugas kepada Kak Mira. Begitu pula saat kusalim Bu Lalila. Sejujurnya, Aku takut kalau aku tak dapat tumpangan untuk pergi ke simpang. Karena jarak antara tempat ini dan simpang amat jauh. Apalagi, di tempat ini tak ada kendaraan umum sama sekali. 

Dengan cepat, Aku keluar dan mencari  tumpangan. Kulihat, Teman-teman yang lain sudah siap-siap pulang dengan tumpangan masing-masing. Harapanku tinggal Ken, adik kak Mira. Aku menunggu dia keluar. Agar, aku bisa nebeng di sepeda motornya. Namun, sebelum aku mengahmpirinya. Dua bocah berusia 18 tahun menyerobot dan langsung mengajak Ken pulang. Mereka akhirnya bonceng tiga. 

Tinggal Aku sendiri di luar ini, bila aku menunggu kak Mira rasanya percuma juga. Aku tak akan dapat tumpangan juga. Karena di dalam, masih ada dua orang lagi yang sangat dekat dengan kak Mira. Pastilah kak Mira, akan mendahulukan mereka. Dengan perasaan sedikit kecewa. Aku melangkah kan kakiku. Hujan turun dengan rintik-rintiknya. Menggambarkan perasaan sendu yang kurasakan. 

Kadang, aku berpikir kenapa aku ini amat pendiam sehingga aku tak punya teman akrab disini. Bila aku bisa akrab dengan salah satu mereka yang membawa kendaraan barangkali aku akan selalu di dahulukan. Seperti, Mawar dan Melati yang selalu di dahulukan oleh Kak Mira dan Bu Laila. Atau, seperti Wilda yang selalu didahulukan oleh Ardhi atau seperti dua bocah tengil, Sopia dan Isna yang selalu didahulukan Ken. 

Aku juga mulai merenungi nasibku yang sedari kecil selalu berjalan dari jarak jauh. Akibat ketidak mampuan ekonomi untuk membeli kendaraan atau untuk sekedar ongkos naik becak. Disini naik becak mahal, aku ke mana-mana selalu naik angkot. Tapi naik angkot kan terbatas. Hanya melewati rute-rute tertentu. ***

Aku sudah keluar dari gerbang tempat itu, kutatap ke depanku. Ada kolam ikan yang amat indah. Airnya hijau namun tetap bening. Sakin beningnya  dari air itu ada terlihat cerminan bahwa di pingir-pinggirnya ada  pohon kelapa. Dan rumput-rumput hijau yang memanjakan mata. Kolam itu amat indah, lukisan Tuhan yang tiada tara. Bahkan meski langit telah ditutupi awan hitam. Keindahannya tetap terlihat. 

Kuambil ponselku, lalu ku buka kameranya. Kujebret lukisan Tuhan ini. Seketika pemandangan ini amat estetik di kamera ponselku. Rasa kecewa yang menyelimuti hatiku perlahan hilang. Aku mulai ikhlas dengan  kondisiku yang begitu malang. 

Aku berhenti menjebret, saat mobil berwarna putih menutupi kolam itu. Akhirnya, aku melanjutkan perjalananku lagi. Namun, mobil berwarna putih itu tampaknya sedang mengikutiku. 

Aku berhenti, dan benar mobil putih  itu, juga berhenti. Kaca mobilnya terbuka, kulihat seorang kakek tua dengan kacamata menatapku dengan tatapan yang begitu hangat. 

"Nak, mau ke simpang? "

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline