Malam itu, Aku dan suamiku tengah menikmati sebuah kue yang dibawa suamiku dari sebuah toko kue di pinggir jalan, menuju taman kota.
"Ternyata Bun, yang punya toko kue itu Jihan," ucap suamiku.
"Jihan mantanmu, Yah?" Kataku. Mataku melotot.
Suamiku menganggukkan kepalanya. Jihan, adalah mantan pacar suamiku saat SMA. dulu, aku dan Arif. Laki-kaki yang menjadi suamiku sekarang, adalah musuh bebuyutan. Allah punya takdir, justru musuh bebuyutanku di sekolah, yang menjadi suamiku sekarang.
"Terus... terus... kalian ngobrol apa aja" Seruku. Aku begitu semangat, untuk mengetahui kehidupan Jihan. Mantan pacar suamiku itu.
"Gak ada Bun, Ayah cuma senyum. Terus dia pun senyum. Setelah ayah bayar kuenya. Ayah langsung pulang"
"Masa sih? Memang ayah tidak penasaran dengan kehidupan mantan ayah itu?" Kataku.
"Buat apa? Kan sekarang Bunda udah ada. Ngapain ngurusin hidup perempuan lain" ucap suamiku. Mataku seketika berbinar. Suamiku, memang amat pandai merayu.
"Bun, sejak Ayah mutusin hijrah dan gak pacaran. Ayah jadi ngerasa kehidupan percintaan itu lebih tenang. Buktinya, Ayah bisa nikahi Bunda tanpa harus pacaran dan bisa macarin Bunda dengan cara yang halal" Pekik suamiku lagi.
Pipiku merah merona, senyum tak dapat ku tahan. Setelah kuingat, bagaimana cara Allah menyatukan kami dalam sebuah mahligai rumah tangga. Allah memang maha besar.
Aku dan suamiku sama-sama pernah pacaran saat masih lajang dulu. Suamiku Arif, pacaran dengan Jihan. Dia adalah putri kepala sekolah. Setiap malam minggu mereka ke Anterina. Sebuah cafe mewah demgan nuansa romantis. Berpegangan tangan, gombal-gombalan, sampai bahkan ciuman. Aku dan Raka, pacarku dulu. Juga sering ke Anterina.