Siang itu, Di beranda rumah. Ayah tengah membaca berita di sebuah koran. Dibacanya, sambil menikmati segelas teh yang disuguhkan Ibu dengan sepiring roti.
Aku pulang, dengan wajah yang mangut. Tas yang sedari tadi kusandang kuhantam dengan penuh emosi ke sofa. Ayahku tentu terheran dengan sikapku ini. Tak biasanya aku seperti ini.
"Kamu kenapa Yu?" Tanya Ayah.
Aku duduk, lalu melepaskan sepatuku. Dan membuka kaos kakiku perlahan-lahan. Sambil kuceritakan yang terjadi pada Ayah.
"Aku kesel banget Yah, Hari ini salah satu temenku cerita, kalau dia dilecehkan oleh dosen pembimbingnya. Sebagai sesama perempuan aku mengajaknya ke ruang rektor untuk mengadu. Sesampai di ruangan, bukannya bicara. Kawanku itu malah bilang Aku sedang stress karena skripsi" Ayah menyimakku dengan baik.
"Mungkin teman kamu itu takut. Kalau orang yang dilecehkan, itu pasti psikisnya terganggu "Kata Ayah.
"Kejadian seperti ini tidak boleh terjadi, dosen itu harus di lapor ke polisi. Ayah sendiri akan melaporkannya. Ayah tak mau besok, kamu yang jadi korban selanjutnya " Sambung Ayah.
Bibirku terbuka lebar, Aku senyum melihat kepedulian ayahku. Ayahku memang tidak mau, jika keadilan di hadapannya tidak ditegakkan.
Baru-baru ini, ayahku yang dulunya seorang jaksa, telah dipecat dari jabatannya. Karena ayah tak mau mengambil sogokan dari napi anak seorang hakim.
Setelah Ayah tak lagi dikejaksaan, tanah kosong yang dipenuhi dengan rerumputan dan semak-demak di belakang rumah. Disulap Ayah menjadi kebun sayur-sayuran. Ide cemerlang Ayah itu, telah membuat ekonomi keluarga kami tetap stabil, meski ayah baru saja saja diphk.