Lihat ke Halaman Asli

Rahmi Rezkiani

Mahasiswa Akuntansi UIN ALAUDDIN MAKASSAR

Kesehatan Mental: Hak Segala Jiwa

Diperbarui: 3 Januari 2020   23:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

"We are not human doing. We are human being" -Adjie Santosoputro

Seringkali jargon "kesehatan itu mahal harganya" menggema di telinga kita. Bahkan tidak jarang hal itu digalakkan dalam kegiatan-kegiatan sosialisasi puskesmas, penyuluhan bersih hidup sehat di beberapa sekolah hingga banyaknya seminar-seminar mengenai isu-isu terkait kesehatan yang sedang trend pada saat ini.

Tentu saja hal itu patut diacungkan jempol oleh masyarakat sebagaimana hal tersebut menunjukkan kepedulian pemerintah terhadap banyaknya wabah yang sedang merajalela di lingkungan sekarang.

Jargon diatas sering dipahami bahwa kesehatan hanya sebatas fisik dan raga, lalu bagaimana dengan kesehatan mental itu sendiri ?

Fakta yang tersebar luas bahwa kesehatan mental sering dianggap remeh, hal tabu, bahkan efek dari kurangnya peringatan mengenai kesehatan mental membuat sebagian orang mengaitkan hal tersebut dengan sesuatu yang bersifat sihir, tidak beriman, hingga dianggap tak punya Tuhan.

Sehingga, orang yang mempunyai gangguan jiwa tidak berani untuk speak up dan lebih sering mendendam masalah itu sendiri dengan cara toxic positivity, bahkan tak jarang mereka menyakiti diri sendiri dengan cara menyayat tangan mereka, membentur kepala mereka, hingga bunuh diri karena merasa bahwa tidak ada lagi tempat bernaung untuk sekedar menyalurkan apa yang mereka rasakan.

Penderita gangguan mental yang telah tercatat di WHO adalah sebanyak 450 juta orang di dunia dan sebanyak 1 juta orang yang bunuh diri setiap tahunnya. Indonesia mempunyai persentase penderita gangguan mental sebanyak 6% atau sekitar 14 juta jiwa terkhususnya pada kalangan remaja menderita depresi dan kecemasan berlebihan.

Saat ini layanan psikolog mulai mudah di jangkau di beberapa puskesmas terdekat, tentunya hal ini bukan lagi menjadi persoalan mengapa kesehatan mental masih sulit untuk diakses ditambah mental health professional semakin kreatif dalam mensosialisasikan tentang pentinganya kesehatan mental.

Namun, ironisnya bahwa masih banyak orang yang lebih suka melakukan "self-diagnosis" yaitu dengan cara hanya mengetik beberapa kata kunci di sumber pencarian terbesar dan BOOM! Ketika mereka telah mendapatkan yang sesuai dengan kata kunci maka "self-claim" pun dimulai. Mereka merasa bahwa dengan mempunyai gangguan mental, mereka menjadi keren.

Hal ini menyinggung perasaan para penderita gangguan mental ini dikarenakan posisi seseorang tersebut tentu tidak semenyenangkan itu, lagipula apa bagusnya kalau kita sakit ? toh biaya obat mahal, produktivitas terganggu, bahkan sekedar hang out  sama teman harus dibatalkan.

Penderita yang mengalami gangguan mental mengalami beberapa reaksi berlebihan ketika hal tersebut kambuh mulai dari seperti ada yang memegang jantungnya, gemetaran berlebihan, suara-suara dikepala terasa memuakkan, takut ditinggalkan ataupun diabaikan hingga gangguan tersebut sering berbisik kepada penderitanya untuk melakukan hal-hal buruk seperti membunuh orang, mencekik diri sendiri dan lain-lain.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline