Lihat ke Halaman Asli

Renungan Hati Sambil Mengajar Diri

Diperbarui: 24 September 2024   02:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

Mendidik paling susah itu adalah mendidik jiwa. Sejak kecil kita diajarkan kebaikan oleh orang tua kita, tandanya mereka menyangi kita, menginginkan anak-anaknya berprilaku baik. Akan tetapi, sebagai anak belum tentu bisa mencerna langsung apa yang diajarkan, kecuali membutuhkan pembiasaan, pencontohan, karena anak-anak tumbuh bagaikan spon yang mampu menyerap begitu banyak hal, dan dengan pembiasaan dan memberi contoh kepada anak akan membuat mereka merekamnya tanpa sadar dan tanpa paksaan.

Tapi tidak semua orang dilingkungan anak bisa memberi contoh yang baik, memperlakukan anak dengan baik. Terkadang perkataan dan perbuatan mereka dapat menyakiti dan merusak pikiran, dan mereka melakukannya tanpa ada rasa bersalah. Oleh sebab itu, yang perlu didik adalah memiliki hati yang kuat, bersih dan bahagia, cukup dengan diri sendiri dan merasa bersyukur dan bahagia atas apa yang dimiliki tanpa perlu pujian dan penghargaan dari orang lain, karena yang butuh memberi pujian dan penghargaan kepada diri kita adalah diri kita sendiri.

Waktu kecil, kita hanya menerima apa yang diberikan orang tua kita kepada kita. Tatkala kita merasa susah dengan pekerjaan sekolah, orang tua memikirkan apa saja yang anak-anak mereka butuhkan, agar mereka bisa hidup dengan nyaman tanpa ada perasaan terbebani dan tertinggal dari teman-temanya. Tapi tidak semua orang tua mampu memberi kenyamanan tersebut, dengan fasilitas minimum tapi tercukupi, orang tua lain mungkin bersusah payah memeras keringat mereka, bekerja pantang menyerah untuk mencukupinya. Tentu sebagai anak, haruslah bersyukur akan tercukupinya kebutuhan yang ada, walaupun tidak bisa mendapatkan juara di kelas, atau tidak terlalu menguasai pelajaran di sekolah, seharusnya kita dengan gembira diberi kesempatan datang ke sekolah, belajar banyak hal dan bertemu guru-guru yang baik dan teman-teman yang meramaikan kehidupan sosial kita. Tidak susah, hanya perlu menikmati waktu belajar dengan serius, berusaha semaksimal mungkin, berani mencoba hal-hal baru, dan tidak takut salah ketika belajar hal yang baru, karena suatu hal yang lumrah jika kita merasa tidak tahu, takut, atau malu ketika kita menghadapi hal yang baru, dan belum kita tahu. Ketika sudah tahu pun, kita harus bermurah hati kepada teman-teman kita untuk berbagi ilmu kepada mereka dengan mengajarkan mereka dengan caramu sendiri, sehingga mereka juga paham dengan apa yang sedang dipelajari dan gurupun merasa terbantu akan sikap itu. Oleh sebab itu, nikmatilah masa belajarmu di sekolah, pelajari banyak hal, berusaha ketika belum bisa, temukan keinginanmu dan bakatmu, kemudian sampaikan kepada orang tua mu, agar mereka tahu cerita-cerita tentang perkembangan kalian di sekolah.

Setelah beranjak remaja, anak-anak mulai kenal lawan jenisnya. Terbuka akan ketertarikan tersebut kepada mereka, dan membantu mereka untuk tidak merasa rendah diri terhadap diri mereka. Katakan kepada anak-anak kalau mereka sungguh cantik, ganteng, menawan. Jikapun mereka tertarik dengan lawan jenis mereka, itupun adalah wajar, karena sesungguhnya manusia diciptakan berpasang-pasangan. Akan tetapi, kita diajarkan untuk mengerjakan yang halal. Silahkan berteman dan berkenalan, asal tahu batasan. Bahwasanya dua orang manusia tidak boleh kumpul dalam satu ruangan jika bukan muhrim dan halal ikatannya. Tunggu sampai waktunya, maka silahkan lah perluas pertemanan dengan banyak orang sehingga tahu bagaimana budi bahasa, sopan santun bersikap kepada setiap orang. Walaupun demikian, haruslah ingat, setiap orang tidak berhak menilai kita dengan apa yang kita lakukan dan begitu pula sebaliknya kita terhadap orang. Kita hanya butuh intropeksi diri kita masing-masing, menghargai orang lain seperti kita ingin dihargai, tidak melihat orang sebalah mata, apalagi merendahkan. Berlaku baiklah kepada orang lain, tetapi yang paling penting berlaku baiklah kepada diri sendiri.

Setiap perbuatan yang kita lakukan bagaikan bibit yang kita tanam, ketika kita menanam yang baik maka kita akan memanen yang baik. Kita akan merasa bahagia ketika berbuat kebaikan, dan begitu pula keburukan, kita akan merasa gelisah dan ketakukutan ketika melakukannya, bahkan bel pengingat di dalam dada kita bergeming tak karuan menandakan tanda awas bahaya berbuat kemungkaran, memberikan peringatan agar hal tersebut tidak dikerjakan, apalagi menjadi suatu kewajaran.

Tapi sebagai manusia kita sering dan terlalu mudah tertipu dengan hawa nafsu dan godaan. Bahkan karena penormalan, kita tidak tahu dan bahkan tidak bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Bahkan ketika kita berhati-hati berbuatpun, tetap saja ada kesalahan. Tentu itulah kenapa pepatah mengatakan, manusia tempat nya khilaf dan dosa. Kita adalah pendosa yang setiap hari menambah dosa kita. Itulah kenapa kita diberikan suatu ibadah yang memampukan kita untuk mengingatkan diri kita. Tidak banyak, yakni kewajiban menjalankan sholat 5 waktu dalam waktu sehari semalam. Sholat itu bagaikan penyiram, tempat meminta dan memohon agar kita diselamatkan atas diri kita dari diri kita sendiri yang pendosa dan selalu berulang setiap harinya.

Setelah remaja, seorang anak bertumbuh menjadi dewasa, suatu hal yang belum terlihat sebagai masalah dimasa remaja, bisa menjadi masalah pada waktu dewasa. Ketika remaja kita jarang menghabiskan waktu kita dengan masyarakat luar, dan hanya bergaul dengan teman sebaya. Ketika dewasa, dunia mengharuskan kita berusaha dan mulai bekerja, mulai memikirkan masa depan, mau dibawa ke mana badan. Menikah? Bekerja? Hanya dua pilihan yang terlintas dalam benak seseorang. Menikah untuk memastikan keturunan, bekerja untuk membahagiakan diri sendiri, orang tercinta, dan orang tua. Entah berapa banyak lagi pikiran lainnya yang harus kita bebani dalam pikiran kita. Sampai sesak dan terasa penuh di dalam dada, punggung terasa kaku, seakan kepala yang memikirkannya ikut tersentak dan menjadi beban pikiran yang mulai mengikat bagaikan batu kerikil yang ditumpuk-tumpuk menjadi sebuah batu besar yang menekan setiap pembuluh darah di dalam dada. Kita berlari ke arah yang tak tentu dengan berbagai tujuan tetapi dengan akhir yang sudah pasti. Pikirkan lah!

Setiap yang kita perbuat tentu kita lakukan untuk diri kita. Itulah semestinya, karena yang bisa mempertanggungjawabkan atas perbuatan kita nanti di akhirat adalah diri kita sendiri, bukan orang lain. Meskipun kita mengatakan berbagai alasan, entah untuk kebaikan, untuk keluarga, untuk dia, ataupun apapun itu, manusia ini adalah seorang yang egois yang membutuhkan orang lain untuk mewujudkan keinginan mereka, untuk mendapatkan penghargaan, dan pengakuan atas keberadaannya. Itulah kita yang masih terus bergulat dan berjuang dengan kehidupan dunia yang pana dan fantasi ini. Kenapa fantasi? Karena kenyataannya, kita diberi badan hanya untuk sementara, ketika masa habis pakai, dia akan menjadi kadaluwarsa, tidak bisa digunakan lagi, yang ada hanya sebatang kara, berjalan menyusuri tempat nyata yang akan menjadi tempat tinggal setelahnya. Itulah kenapa, kita dituntut untuk terus memperhatikan jalan yang kita tempuh, agar tidak masuk ke lubang yang sama, tidak jatuh terlalu dalam, segera berbelok ketika salah arah, sehingga arah mata angin yang kita tuju benar, walaupun kadang ada tanjakan, ada turunan, ada belokan dan bahkan jalan buntu. Kompas yang bernama jiwa raga, hatimu itu teruslah dibawa.

Semakin dewasa semakin tahu, bahwasanya berbuat baik bukan untuk orang lain, tapi untuk diri sendiri. Ketika waktu remaja kita belum memikirkan perilaku buruk yang kita lakukan, karena sesungguhnya kita belum memikirkan masa depan apa yang menunggu kita nanti, sehingga membuat kita berperilaku tak acuh tanpa sadar membuat perilaku tersebut menjadi kebiasaan buruk dan menjadi bibit tanaman yang akan di tuai dimasa mendatang. Ketika dewasa kita baru menyadari apa yang telah kita perbuat di waktu remaja. Ada yang merasa bersyukur dan bahagia atas apa yang telah ia lakukan dulu dan ada pula yang merasa menyesal dan merasa bersalah kepada dirinya. Segala kesadaran tersebut akan disadari ketika mulai dewasa, yang mana pada saat itu, kita dituntut untuk mandiri dan bekerja menafkahi diri sendiri. Oleh sebab itu, tanamlah yang baik-baik ketika remaja dengan berbuat banyak hal baik, belajar banyak hal baik, bergaul dan berteman dengan baik, dan menghormati orang tua.

Ketika semakin dan semakin dewasa, kita tahu, tak ada cara berputar membalikkan waktu ke masa lampau untuk memperbaiki kesalahan. Akan tetapi, tidak apa, terlambat tersadar lebih baik daripada tidak sama sekali. Kita memikul dan bertanggungjawab atas perilaku kita masing-masing, tidak pantas kita menjudge seseorang pendosa atau bukan, kita tidak berhak menilai maaf seorang tersebut diterima atau tidak, karena kita semua menginginkan kata maaf tersebut, kemudian berdamai dengan diri sendiri. Siapa kita tidak memaafkan orang lain? siapa kita yang menjadi pembenci karena mereka berbuat buruk kepada kita atau orang lain? Siapa kita yang berhak mengatakan mereka lebih buruk dari aku dan aku paling baik? Kita tak pernah tahu siapa yang benar-benar diterima kelak. Karena tak ada hak sedikitpun pada kita untuk menginterpretensi nya. Sungguh kita perlu ingat, walaupun kebanyakan hal buruk yang telah kita lalui, segala halnya, jangan menyerah untuk selalu kembali dan bertaubat, karena Tuhan maha luas ampunannya, dan membukakan pintu ampunan bagi siapa saja yang datang.

Semakin dewasa, dan dewasa, masa senja itu tak terasa datang menghampiri. Bagaikan waktu yang terus berputar, ternyata senja menuju magrib itu tak lama lagi. Baru terasa seketika itu, tiada berguna apa yang dicari. Lama mencari, ternyata yang dicari ada pada diri sendiri, mencari lagi ketika kabut gelap hampir menutupi. Siapa lagi yang akan ditanya, perkara diri sendiri saja tidak tahu jawabannya, nama dan tempat tinggalnya pun telah terlupa, maka mana alamat yang ingin dituju, rumah mana yang mau menerimanya pulang, ia merasa sedih tak karuan, tapi keputusan tak bisa ditunda lagi. Sudah datang jemputan, untuk pulang ke alamat yang seharusnya ia cari sejak lama dahulu pada waktu masa terang. Akhirnya baru tersedar, ia seharusnya hidup untuk mencari jawaban akan dirinya. Tidak terlena dengan gemerlap siang, seharunya ia melewati hari-harinya dengan kebaikan, sambil bersyukur atas pemberian, memaafkan setiap orang, karena ia sendiri ingin dimaafkan oleh Tuhan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline