Sepanjang tahun 2022, ramai tersebar isu mengenai pencemaran lingkungan di Blok Mandiodo, Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara. Media memberitakan kejadian ini terjadi karena adanya tumpang-tindih 11 Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang melakukan kegiatan pertambangan eksplorasi dan produksi nikel. PT Aneka Tambang kemudian mengajukan upaya hukum ke Mahkamah Agung (MA) yang berakhir dengan menangnya Antam atas hak IUP di Blok Mandiodo.
Pemberitaan media sayangnya luput membahas bagaimana kasus ini terjadi karena adanya tekanan direksi perusahaan holding MIND ID terhadap anak usahanya Antam untuk meningkatkan produksi dan meningkatkan keuntungan bagi Holding. Hal ini kemudian berujung pada terjadinya bentrokan antara masyarakat, pemerintah lokal Konawe Utara, dan Antam. Kenyataannya, kasus di Blok Mandiodo ini hanyalah satu dari banyak kasus bentrokan antara masyarakat dengan anak perusahaan MIND ID.
Blok Mandiodo sendiri merupakan julukan bagi daerah pusat pertambangan nikel di Sulawesi Tenggara dengan luas 16 ribu hektare. Area ini sebenarnya merupakan wilayah konsesi PT Antam yang berhasil mereka dapatkan kembali setelah persengketaan di pengadilan dengan sebelas perusahaan yang juga memiliki Izin Usaha Pertambangan (IUP). Area tersebut sudah menjadi rebutan Antam dengan perusahaan lain sejak 2011 hingga akhirnya dikuasai berkat konsesi yang dimenangkan Antam pada tahun 2021.
Selama terjadinya persengketaan tersebut, izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) yang sejatinya merupakan syarat wajib penambangan di kawasan hutan tidak terbit. Akan tetapi, praktik penambangan nikel tetap terjadi. Namun, ketika dipertanyakan, tidak ada perusahaan yang mengakui bahwa alat-alat penggalian yang ada di lapangan adalah milik mereka.
Area seluas 3.400 hektare ini merupakan salah satu pusat nikel di Sulawesi Tenggara. Menurut perkiraan, daerah ini beserta total 16 ribu hectare area konsesi Antam lainnya menyimpan jutaan ton biji nikel. Letaknya yang berdekatan dengan laut juga dinilai strategis, yang membuat banyak penambang diam-diam melakukan penggalian. Namun, secara resmi, daerah Blok Mandiodo ini sudah ditutup berdasarkan perintah Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri, setelah diadakannya razia penambangan ilegal pada September tahun 2022. Seharusnya, tidak ada lagi penambang ilegal di Blok Mandiodo.
Setelah memenangkan persengketaan di tahun 2021, Antam memerintahkan PT Lawu Agung Mining untuk menggarap Blok Mandiodo dan mengeruk nikel di sana, ditambah dengan Tapuemea dan Tapunggaya, selama tiga tahun. Karena luas daerah konsesi tersebut, PT Lawu kemudian menunjuk sebelas kontraktor untuk menambang nikel di Blok Mandiodo. Yang menarik (dan aneh), kesebelas perusahaan yang ditunjuk oleh PT Lawu ini merupakan sebelas perusahaan yang sebelumnya bersengketa di Blok Mandiodo dengan PT Antam. Selain itu, walaupun secara hukum Antam sudah memenangkan wilayah tersebut dan sudah dilakukan pertambangan dengan perintah Antam, belum ada perusahaan -- termasuk Antam -- yang mendapatkan IPPKH sebagai syarat menambang nikel di sana. Dapat dikatakan, penambangan nikel di Blok Mandiodo hingga sekarang belum berizin.
Melakukan Penambangan dikawasan Hutan
Menurut Antam, aktivitas pertambangan yang mereka lakukan di Blok Mandiodo tidak berada di kawasan hutan sehingga tidak memerlukan IPPKH. Sementara, pihak KLHK menilai bahwa Sebagian besar wilayah konsesi Antam tersebut masuk ke dalam kawasan hutan lindung dan hutan produksi. Analisis citra satelit yang dilakukan Tempo dan Greenpeace Indonesia menunjukkan 90 persen area yang sudah ditambang berada di dalam kawasan hutan. Dari analisis tersebut pula, ditemukan bahwa pengerukan nikel di blok ini terjadi dimulai sejak tahun 2019 dan sudah mencapai luas 985 hektare.
Lantas, kemudian ditemukan bahwa 11 kontraktor tambang nikel yang sudah mengeruk nikel ini "meminjam" dokumen kelengkapan (IUP, RKAB, hingga IPPKH) dari perusahaan lain yang operasinya berbatasan dengan Blok Mandiodo ketika menambang di blok ini. Dokumen yang banyak dipakai yaitu milik PT Kabaena Kromit Prathama dan PT Mandala Jayakarta. Kedua perusahaan tersebut memperoleh bayaran US$10 per ton nikel yang mereka jual ke smelter. Dari tarif tersebut, US$5 adalah untuk jasa dokumen dan US$5 sisanya untuk penerimaan negara bukan pajak (PNPB). Dalam hal ini, negara tetap dirugikan karena 11 perusahaan tersebut tidak perlu membayar PNPB dari sektor kehutanan akibat penambangan tanpa IPPKH. Dari penambangan yang dilakukan sejak 2019 hingga 2022, nilai nikel yang dikeruk di blok Mandiodo mencapai Rp21,6 triliun (dengan asumsi harga nikel US$30,02 per ton).
Seperti yang disebutkan sebelumnya, pemberitaan yang ada selama ini tidak membahas bagaimana hal ini dimulai dari tekanan direksi MIND ID terhadap Antam sebagai anak perusahaan. Oleh direksi, Antam didesak untuk meningkatkan produksi demi memaksimalkan keuntungan bagi holding. Tekanan ini kemudian menyebabkan Antam harus bergerak agresif di lapangan. Dilihat dari laporan keuangan kuartalnya, kinerja Antam meningkat lebih dari dua kali lipat antara kuartal dua dan kuartal tiga di tahun 2022.
Ditolak oleh Warga