Pada tahun 1969. Setelah Nurcholish Madjid atau Cak Nur (1939-2005) berhasil melakukan pendekatan persuasif dengan Omi Komaria (istri almarhum Cak Nur), tujuan untuk melanjutkan ke jenjang lebih serius telah mereka rencanakan. Setelah masa jabatan Cak Nur sebagai Ketua Umum Pengurus Besar (PB) Himpunan Mahasiswa Islam (HmI) .
Di tahun yang sama, pada tanggal 3-10 Mei 1969. Kongres ke-9 di kota Malang, sebagai Ketua Umum PB HMI, Cak Nur menyampaikan pidato pertanggungjawaban dan sekaligus mengakhiri periode kepengurusannya.
Mungkin muncul dibenak Cak Nur, dengan rasa senang dan bahagia setelah akhir dari masa kepengurusannya sebagai ketua PB HMI, karena ia dengan Omi akan melangsungkan pernikahan.
Nampaknya, Cak Nur tidak menyadari situasi tersebut, ternyata, Kongres memilih kembali Cak Nur sebagai Ketua Umum PB HMI untuk periode kedua, yang tidak pernah disangkanya. Terlebih lagi "ia tidak mencalonkan diri".
Bahkan pada periode pertamanya menjadi ketua Umum PB HMI, Cak Nur tidak mencalonkan diri. Situasi Kongres yang membuat ia harus menerima mandat tersebut, (baca: Api Islam, 2010).
Karena situasi politik berubah, seperti yang diungkapkan Ahmad Gaus AF "situasi politik yang mendorongnya untuk kembali dipilih sebagai ketua ialah munculnya isu primordial Jawa dan luar Jawa dalam menetapkan pimpinan", (Api Islam 2010).
Dengan mempertimbangkan kembali, akhirnya Cak Nur bersedia untuk mengambil mandat tersebut. Karena beberapa aktivis HMI dari luar Jawa mendekati Cak Nur dan mengatakan bahwa kalau dia tidak menjadi ketua umum lagi, HMI akan terpecah (Api Islam 2010).
"maka dengan terpaksa saya menjadi ketua umum lagi pada 1969", ujar Cak Nur, (Api Islam 2010). Ia pun menyatakan kesediaannya setelah satu jam sebelum pemilihan.
Periode kedua memimpin HMI, membawa Cak Nur sebagai pembuka jalan pembaharu. Ketika sekumpulan organisasi mahasiswa mengagendakan acara halal bi halal pada Januari 1970-an.
Cak Nur sebagai pembicaranya, dengan pidatonya tentang makalah dengan judul "Keharusan Pembaharuan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat", yang kelak menjadi polemik berkepanjangan, sekaligus awal kemunculan pembaharuan pemikiran Islam di Indonesia.