Lihat ke Halaman Asli

Qurban Atas Nama Siapa?

Diperbarui: 23 Agustus 2020   19:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi hewan qurban (Sumber:Pixabay/Sasin Tipchai)

Idul Qurban 1432 H telah berlalu, sungguh mulia orang-orang yang telah berkurban, menyisihkan dan melapangkan rizkinya untuk berbagi, dan berempati bagi sesama. 
Dalam Riwayat Tirmidzi, orang yang berkurban mendapatkan kemuliaan dari Allah yang tiada terkira "Tiada amal anak Adam yang paling disukai Allah pada hari penyembelihan daripada mengalirkan darah qurban, sesungguhnya hewan yang diqurbankan itu akan datang (dengan kebaikan untuk yang melakukan kurban) di hari kiamat kelak dengan tanduk-tanduknya, bulu dan tulang-tulangnya, sesungguhnya (pahala) dari darah hewan kurban akan jatuh pada suatu tempat di sisi Allah sebelum jatuh ke bumi, maka lakukanlah ini sepenuh kerelaan hati." (H.R. Tirmidzi).
Ada beberapa pendapat mengenai hukum kurban bagi yang mampu, masing-masing mendasarkan pada dalil, namun ada satu dalil yang shahih dan definitif yang menjembatani berbagai perbedaan itu yaitu sabda Rasulullah SAW:
"Aku diperintahkan untuk berkurban, sedangkan itu adalah sunnah bagi kalian. (H.R. Turmudzi). Atas dasar hadits ini, maka semua dalil yang bernada mewajibkan atau ancaman bagi yang tidak melakukan kurban, semuanya dimaknai sebagai penguatan, penekanan dan dorongan untuk melakukan ibadah kurban tersebut".

Qurban LembagaDalam perintah melaksakana qurban, subyek pe-qurban adalah “orang” sebagaimana kedua hadist diatas, terdapat kata “Tiada amal anak Adam..”, “…sunah bagi kalian”. 
Selain itu dalam syarat syah qurban, salah satunya adalah “Milik pe-qurban”. Kemudian jika qurban dalam bentuk sapi atau unta, maka dalam perolehannya dapat patungan unuk tujuh orang, sedangkan untuk kambing dan sejenisnya untuk satu orang.  Tidak ada dalam riwayat manapun jika qurban adalah hasil iuran atau berasal dari dana lembaga.
Namun ada hal menarik, banyak lembaga-lembaga menyelenggarakan Qurban, baik itu sekolah maupun kampus, kantor pemerintah, juga swasta. Sering kita baca publikasi di media masa, jika lembaga A melakukan qurban sekian ekor sapi, sekian ekor kambing, begitu juga lembaga B melakukan qurban sekian ekor sapi dan sekian ekor kambing. 
Jika kita tanyakan terkait sumber dana qurban, pada beberapa lembaga dana memang berasal dari si pe-Qurban yang memang menitipkan hewab qurbannya di kantor, ada juga orang tua siswa yang menitipkan hewan qurbannya untuk disembelih disekolah.

Akan tetapi yang lebih banyak terjadi sumber dana qurban adalah iuran kolektif yang kemudian ketika disembelih diatasnamakan satu orang. Kondisi ini biasanya terjadi pada sekolah, dimana siswa diminta iuran untuk sumbangan qurban, ketika disembelih diatasnamakan salah satu siswa atau gurunya. 
Ada yang berpendapat bahwa konteks berkurban di sekolah adalah belajar berkurban bagi siswa, supaya siswa tahu bagaimana proses berkurban mulai dari menyembelih hingga pembagiannya, sehingga ketika dewasa kelak, bisa mengamalkan melakukan qurban. 
Daging yang dibagi disebut sebagai sedekah qurban, bentuk kepedulian siswa kepada lingkungan sekitarnya. Namun jika dikaitkan dengan konteks qurban, qurban dilakukan bagi mereka yang ‘mampu’, bukan karena ‘dipaksa”. 
Alangkah lebih baik jika sekolah mengadakan qurban bukan dari iuran siswa, melainkan menghimpun binatang qurban dari orang tua siswa yang mampu untuk kemudian dititipkan disembelih disekolah. Karena niat baik belajar qurban akan berkurang maknanya, jika jalannya tidak sesuai dengan syariah yaitu iuran. Karena bisa jadi kebiasaan disekolah terbawa dan menjadi  budaya ketika ia menjadi pimpinan di kantor, karena akan membuat kebijakan sebagaimana di sekolah.
Terdapat beberapa kantor pemerintah atau kantor swasta atas pemahaman mengenai qurban yang baik, melakukan qurban di kantor dengan menitipkan hewan qurban atas nama dirinya, bukan atas nama kantor. Namun yang jauh lebih banyak terjadi di kantor pemerintah atau swasta melakukan qurban sebagaimana anak sekolah? 
Dalam artian memaksakan berkurban atas dana iuran karywan atau menyisihkan anggaran kantor untuk kemudian berkurban, padahal dalam anggaran kantor tidak ada untuk qurban, jikapun ada anggaran tetap tidak sesuai syariat, karena bagaimanapun konsep berkurban adalah “korban’ yakni merelakan harta miliknya untuk diqurbankan dalam bentuk hewan.
Sangat keliru jika lembaga seperti kantor atau perusahaan berkurban atas dana yang yang bersumber dari iuran karywan. Jikapun ada anggarannya maka tetap tidak bisa disebut sebagai qurban. Hal yang fatal adalah ketika hewan qurban berasal dari sisa anggaran, atau memotong anggaran kegiatan lain. Bukankah hal tersebut salah satu bentuk korupsi, demi berkurban memangkas anggaran lain.
Bagaimanapun kebiasaan-kebiasaan berqurban atas nama lembaga atau kolektif harus diluruskan, karena bagaimanapun sebuah niat baik, tapi dilakukan dengan cara yang tidak baik atau tidak sesuai syarat, jatuhnya akan menjadi tidak baik. 
Apa susahnya seorang kepala kantor, kepala sekolah, guru, kepala perusahaan, manager berkurban atas nama dirinya, atas perolehan rizkinya tidak lebih dari Rp. 1.500.000 untuk seekor kambing, itupun hanya setahun sekali. Sangat jauh dibandingkan dengan nilai nominal gaji bulanan dan tunjangannya. Memang sulit jika tanpa dilandasi keikhlasan, kerelaan dan semangat empati. 
Harga seekor kambing lebih murah dibanding dengan harga sebuah Handphone (HP), jarang kita berpikir panjang untuk memenuhi selera gadget, selera pakaian dibanding kita berpikir panjang dan berberat hati untuk ber-qurban.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline