Payungi adalah sepotong tempat yang agak tersembunyi di pinggir kota Metro. Tak lebih lima belas menit dari kantor wali kota Metro atau Taman Merdeka yang menjadi pusat kota. Kota Metro memang kecil, tak ada yang benar-benar jauh untuk di tempuh di kota ini, luas totalnya hanya 68,74 km2.
Dari pusat kota, kita bisa mencapai Payungi lewat dua jalan, AH. Nasution atau Hasanuddin, dengan sedikit memutar ke Jl. Basuki Rahmat dan masuk jalan gang, Kedondong. Sebutan Payungi adalah akronim dari Pasar Yosomulyo Pelangi, letaknya memangnya di kelurahan Yosomulyo, area keramaian kuliner yang didekasikan untuk pedagang tradisional, tempatnya hanyalah sebuah gang yang dibentuk sedemikian rupa.
Meski begitu, Payungi menawarkan daya magnet tersendiri --selain kuliner, ada wahana permainan, pojok buku, dan taman edukasi untuk anak-- mengundang banyak orang untuk datang ke sana.
Setiap Ahad pagi, manusia dari berbagai tempat berbondong-bondong datang ke Payungi. Mungkin karena Payungu tak seperti pasar umumnya, mereka selalu datang berulang kali, mencari suasana yang memang masih lekat dengan tradisi, bukan hanya makanan yang terbuat dari bahan singkong, pisang atau hasil kebun sendiri, tetapi juga keintiman antara pedagang dan pembeli yang memang sengaja dibangun. Bahkan, konon dulu awal-awal beroperasi, transaksinya tidak menggunakan alat tukar uang, tetapi koin bambu.
Aku sebenarnya sudah lama membayangkan, menyantap gethuk sembari berbincang dengan teman-teman yang menginisiasi kehadiran pasar ini. Tetapi selalu saja gagal. Aku harus merelakan sepotong pagiku dicotok ayam, dan aku mendengkur di tempat tidur.
Konon, sejak dilaunching 28 Oktober 2018 yang lalu, Payungi sudah beromset hampir 1,5 milyar, diisi kurang lebih 40 pedagang tradisional yang berasal dari penduduk sekitar, uniknya mereka menjual makanan dengan jenis berbeda. Setiap gelaran, Ahad Pagi, Payungi selalu menghadirkan suasana dengan inovasi baru, jika saat pertama launching selain alat transaksi menggunakan koin bambu, setiap gelaran pasar selalu mengusung tema-tema tertentu, seperti batik, burung, sepeda klasik dan lain-lain.
Kini Payungi terasa lebih berwarna, bukan hanya karena tembok-tembok yang ada di sekitar Payungi dilukis dengan cat warna-warni oleh lebih pegiat mural dan lukis, melainkan karena Payungi mulai menggandeng ragam komunitas untuk terlibat. Seperti kejadian Sabtu malam (27/7/2019), terlihat banyak kesibukan, dua mobil terlihat bolak-balik mengangkut alat-alat. Aku yang kebetulan berada di sekitar lokasi Payungi malam itu, sempat mencari informasi tentang aktivitas beberapa orang yang terlihat sibuk itu.
"Sedang mempersiapkan gelaran Payungi besok, Bang. Malah katanya itu sudah sejak sore, warga malah sudah kerja bakti dari pagi," jelas Diyan yang kebetulan sedang berkunjung ke Pojok Buku.
Aku menyaksikan sebuah lorong sedang dirias dengan bambu yang dibuat melengkung menyerupai terowongan, kemudian dihias dengan kertas warna-warni, beberapa di antaranya di biarkan menjuntai. Di bagian paling belakang ada papan dan balok-balok yang ditata sedemikian rupa sehingga terlihat seperti miniatur panggung untuk konser musik, sangat artistik dan natural, berada di antara rerimbunan pohon bambu.
"Wah, sepertinya besok bakal lebih meriah. Aku akan berusaha bangun pagi dan datang ke Payungi pagi, keren kayaknya untuk ditulis," ujarku kepada mereka yang malam itu berkumpul di Pojok Buku, bagian paling depan di dekat pintu masuk Payungi.
Setelah dari gerbang paling depan yang berada depan Puskesmas Yosomulyo, pengunjung bisa berjalan kaki sekitar 300 meter dan berbelok memasuki gang sebelah musholla Sabilul Muttaqien, yang sekaligus menjadi pintu utama Payungi yang viral itu, Pasar yang didirikan 9 bulan lalu. Pasar ini tak begitu besar, namun cukup memiliki ragam wahana, bukan hanya pasar, tetapi juga ada taman edukasi anak, area panahan, lempar pisang, flyingfox, dan ada rak-rak buku, yang menegaskan bahwa di sini juga ada geliat literasi.