Apa kabar engkau, Laut? Sudah lama keakraban kita pudar tercerai menjadi serpihan ingatan yang menghadirkan kesedihan. Aku merindukan gelegar samuderamu, menghempasku menjadi puing-puing yang tak berdaya di tegarnya karangmu! Apa kabar engkau, Laut?
Hari ini, aku berdiri di bibir pantai. Bukan untuk menikmati senja atau membiarkan diri rebah dalam senandung ombak dan desir angin pantai. Aku berdiri di bibir pantai, mengatupkan kelopak mata untuk merasakan hadirmu. Alun ombak adalah getar kata-katamu, desir angin adalah belai mesramu. Aku merindukanmu, menjelma menjadi pasir yang kupijak, menjadi angin yang membelai, menjadi gelora yang memeluk.
Memang kita tak pernah pergi ke pantai. Namun, aku mengerti dirimu adalah laut biru, yang mengajarkan kedalaman tanpa berisik.
Di suatu sore, di tengah deras hujan kamu pernah mengeja kata-kata mukjizat Kahlil Gibran. Aku tak benar-benar peduli dan tertarik memahaminya, karena kala itu aku hanya paham dan peduli, engkau ada bersamaku. Memelukku agar tak membeku dan menghadiahiku ciuman berkali-kali setiap hendak berpisah, seakan-akan itu adalah pertemuan terakhir.
Kini, setelah kita tak pernah lagi bertegur sapa, benar-benar tak pernah bertemu lagi, aku baru merapal kata-kata itu, memahami tentang kedalaman dan keabadian dari setiap sentuhan dan erat genggam tanganmu.
***
Beberapa tahun yang lalu.
"Kok bisa suka?" aku heran kenapa tiba-tiba dengan berani kamu berani menyatakan kamu menyukaiku, meski aku sadari aku juga sangat mengagumi dan tentu saja menyukaimu.
"Aku juga tak mengerti." Jawabmu singkat.
Tentu aku terus memburumu dengan banyak pertanyaan, agar aku yakin, kamu tidak sedang bercanda kala itu.
Kamu tersudut, tak bisa menjelaskan.