Lihat ke Halaman Asli

Rahmatul Ummah As Saury

Penulis dan Editor Lepas. Pemilik www.omah1001.com

Kebebasan, Pluralitas dan Toleransi

Diperbarui: 28 November 2017   02:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Titik terpenting perbedaan manusia dengan ciptaan Tuhan lainnya adalah iradah(free will), kebebasan untuk memilih jalan kebajikan (taqwa) atau jalan kejahatan (fujur). Kebebasan sebagai kodrat kemanusiaan dari Tuhan menjadi hak asasi yang didapat sejak lahir, sehingga harus dijaga dan dilindungi. Setiap bentuk perampasan terhadap kebebasan pada dasarnya adalah pelanggaran terhadap hak dasar dan pencideraan terhadap kodrat dari Tuhan.

Ketika Tuhan menetapkan kebebasan memilih antara fujurdan taqwa,sesungguhnya Tuhan sudah memosisikan manusia sebagai ciptaan unggul dan dewasa dengan akal-budinya, sehingga berhak menentukan jalan hidup yang dianggap benar dengan segala konsekuensi yang akan ditanggung.

Kebebasan itu secara konsisten dan berlanjut dijaga hattaketika Tuhan mengirimkan utusan (rasul) sebagai penyeru dan pengingat kepada kaum yang lalai, pun telah diwanti-wanti bahwa tugas utama para rasul itu hanyalah pengingat (innama anta muzakkir) bukan penentu dan pemaksa pilihan mereka (lasta 'alaihim bi mushoithir).

Namun, di usia dunia yang mulai menua, kebebasan kembali ditafsir dan diperdebatkan, beberapa kelompok menolak keberagaman, atas nama penegak kebenaran yang mahasuci, mereka memaksakan setiap orang yang berbeda untuk tunduk-patuh dan ikut atas kebenaran interpretasi mereka.

Sebenarnya kebebasan juga tidak berarti dimaknai sebagai kebebasan tanpa batas, batasan-batasan kebebasan adalah kebebasan itu sendiri. Kebebasan individu akan dibatasi oleh kebebasan orang lain, semisal orang bebas mendengarkan musik sekeras-kerasnya akan dibatasi oleh kebebasan orang yang juga bebas untuk menikmati ketenangan tanpa kebisingan suara musik, kebebasan untuk belajar dan tidur nyenyak. Orang bebas untuk menjalankan ibadah puasa, dan di sisi lain orang juga bebas untuk tidak berpuasa.

Bertemunya antar kebebasan itulah yang melahirkan toleransi, kesepakatan-kesepakatan dan aturan-aturan yang disepakati bersama, tanpa harus saling menggusur dan meniadakan.

Imajinasi dan Utopia

Eksemplar sejarah kebebasan di tengah keragaman merupakan perjalanan panjang yang tidak pernah sepi dari pemaksaan untuk ikut dan tunduk pada pilihan-pilihan mayoritas atau tirani kekuasaan. Kekuasaan dan mayoritas selalu menganggap kelompok-kelompok minoritas berpotensi mengancam sehingga harus dipaksa mengamini tafsir dan kemauan mayoritas, mereka tak boleh diberikan pilihan-pilihan bebas.

Ada banyak faktor yang ikut menjadi penyebab lahirnya tradisi nir-tolerasi ini. Pertama,adanya klaim kebenaran yang berlebihan oleh satu kelompok, bahwa kelompok merekalah yang paling benar sehingga menolak dialog. Dalam kondisi yang demikian, kebenaran tidak lagi menjadi milik semua namun hanya milik dan privilese sebuah kelompok dan golongan saja. Kelompok dan golongan ini selalu beranggapan bahwa merekalah repsentasi dari seluruh kebenaran. Ketiadaan dialog demi pertukaran perspektif dan pencarian titik temu (common denominator) ini pada akhirnya hanya menghasilkan eksklusifme dan fanatisme, yang memicu friksi dan disharmoni di masyarakat.

Kedua,adanya monopoli tafsir kebenaran, dalam arti bahwa klaim kebenaran yang berlebihan pada etape selanjutnya melahirkan sakralisasi terhadap tafsir kebenaran. Sakralisasi terhadap tafsir kebenaran tertentu sering diregulasi dan ditunggangi oleh kepentingan politik tertentu pula. Penjagaan terhadap dominasi kekuasan dan rezim, cenderung berjalan beriringan dengan monopoli tafsir kebenaran. Interpretasi yang berbeda lantas diberangus oleh rezim politik dengan alasan meresahkan masyarakat.

Ketiga, status quo,adanya imajinasi dan utopia berlebihan akan lahirnya kerajaan kebenaran yang tunggal dan kekhawatiran atas ancaman kemapanan. Hal ini adalah bentuk lain dari sakralisasi rezim kebenaran yang berkuasa dan monopoli tafsir, sehingga atas nama kebenaran melakukan kekerasan dan praktik-praktik intimidasi serta pembatasan terhadap kelompok yang berbeda, baik berupa pengenaan stigma sesat sehingga harus ditobatkan dan dikembalikan kepada ajaran yang benarsampai pada praktek penghalalan darah atas kepercayaan yang berbeda.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline