Lihat ke Halaman Asli

Rahmatul Ummah As Saury

Penulis dan Editor Lepas. Pemilik www.omah1001.com

Kopi Lampung, Identitas yang Hampir Hilang

Diperbarui: 23 November 2017   04:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Salah satu kedai kopi di Lampung. Foto: minumkopi.com

Lima tahun yang lalu, tepatnya tanggal 28 September 2012, di Kota Malang digelar sebuah acara talkshow bertema "Sejarah Kopi Indonesia", menghadirkan dua maestro kopi Indonesia, Surip Mawardi dan Adi W. Taroepratjeka.

Dalam talkshow tersebut, para peserta yang hadir dikenalkan dengan sejarah awal masuknya kopi ke Indonesia yang diperkirakan dimulai sejak abad ke-16. Kala itu, India mengirim bibit kopi Yemen atau Arabica kepada Gubernur Belanda di Batavia pada tahun 1696. Sayangnya, bibit pertama gagal tumbuh karena musibah banjir di Batavia. Baru pada pengiriman kedua, benih kopi tersebut berhasil tumbuh di Indonesia, hingga tahun 1711 biji-biji kopi tersebut dikirim ke Eropa dan 10 tahun kemudian ekspor kopi meningkat sampai 60 ton per tahun.

Alhasil, Indonesia pun menjadi daerah perkebunan Kopi pertama di luar Arab dan Ethiopia. Sejak saat itu, VOC memonopoli perdagangan kopi ini dari tahun 1725 -- 1780. Kopi Jawa saat itu sangat terkenal di Eropa, sehingga orang-orang Eropa menyebutnya dengan "Secangkir Jawa". Sampai pertengahan abad ke 19 Kopi Jawa menjadi kopi terbaik di dunia.

Surip Mawardi yang hadir sebagai pembicara dalam talkshow tersebut juga menegaskan bahwa ekspor kopi terbesar Indonesia berasal dari Lampung. (Merdeka.com, 29/9/2012).

Kopi Lampung

Lampung sudah menjadi penghasil kopi terbesar sejak tahun 1840-an atau tepatnya sejak sistem tanam paksa (cultuurstelsel) di era Johannes Van Den Bosch (1780-1844) mulai diberlakukan, rakyat diwajibkan untuk menanam komoditi ekspor milik pemerintah, termasuk kopi pada seperlima luas tanah yang digarap, atau bekerja selama 66 hari di perkebunan-perkebunan milik pemerintah. Akibatnya, terjadi kelaparan di tanah Jawa dan Sumatera pada tahun 1840-an. Namun, berkat cultuurstelsel itu, Jawa dan Lampung menjadi pemasok biji kopi terbesar di Eropa.

Dalam buku  Lampoeng Tanah Lan Tijangipoen, (1940: 95), Probonegoro menuliskan bahwa di tahun 1856, orang-orang Lampung telah menanam kopi, tahun 1857 Residen Lampung telah melaporkan 200.000 pohon kopi telah ditanam, dan di tahun 1862 kopi mengalami peningkatan menjadi 4 juta. Namun mengingat orang Lampung itu tidak suka menanam kopi, sehingga tanamannya (kopi) kemudian banyak yang mati, dan pada akhirnya yakni, tahun 1888 dilaporkan bahwa di Lampung sudah tidak ada tanaman kopi, selain yang tumbuh di pagar-pagar atau satu dua pohon yang digunakan untuk konsumsi sendiri.

Penjelasan berbeda disampaikan oleh Kustiniyati Mochtar dalam buku Sejarah Statistik Ekonomi Indonesia(1987: 157), bahwa penurunan jumlah tanaman kopi di Lampung bukan karena orang Lampung tidak suka kopi, melainkan kondisi alam Lampung yang saat itu terkena dampak dari letusan Gunung Krakatau tahun 1883, yang menurut Yasa Suparman dalam buku Krakatau 1883(2013: 38) ketebalan abunya mencapai 20cm, partikel abu vulkanik halus mencapai atmosfir dan tertiup ke arah Barat dengan kecepatan sekitar 121 km/jam, sehingga dalam waktu 14 hari mampu mengelilingi daerah yang luas.

Ada juga pendapat yang mengatakan, bahwa kejatuhan kopi di Jawa dan Lampung bermula ketika serangan penyakit kopi melanda pada tahun 1878. Setiap perkebunan di seluruh Nusantara terkena hama penyakit kopi yang disebabkan oleh Hemileia Vasatrix. Penyakit ini membunuh semua tanaman arabika yang tumbuh di dataran rendah. Kopi arabika yang tersisa hanyalah yang tumbuh di dataran tinggi lebih dari 1.000 meter di atas permukaan laut.

Ala kulli hal, terlepas dari segala perdebatan penurunan tanaman kopi di Lampung pada akhir abad ke-18 hingga awal abad ke-19, semua orang memiliki kesamaan pendapat bahwa Lampung adalah salah satu penyuplai kopi terbesar Indonesia, bahkan hingga sekarang. Maka, tak berlebihan, jika kopi menjadi salah satu bagian dari identitas yang patut dibanggakan.

Hadirnya lapak-lapak kopi di Lampung yang menjual cita rasa khas kopi Lampung, mulai dari yang elit, menyasar pasar kelas menengah ke atas berbentuk sajian kopi-kopi mahal di caf-caf dan lobi hotel berbintang hingga warung dan kedai-kedai pinggir jalan, yang menawarkan orisinalitas rasa, harus dimaknai sebagai upaya merebut kembali identitas yang sempat hilang.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline