Dulu, ketika aku masih bersekolah di tingkat dasar, di sebuah pulau terpencil ujung paling Timur Kepulauan Madura, berita yang paling membuatku murung dan tak enak makan, adalah kematian artis terkenal Nike Ardilla. Aku tak perlu mencari alasan apapun untuk kesedihan itu, yang jelas aku menyukai Nike Ardilla tanpa syarat, tanpa banding dan tanpa ada duanya. Jadi, begitu Nike meninggal, aku merasa sebagian dari kebahagiaan masa kanak-kanakku terbawa dalam kuburannya.
Pada fase yang berbeda, aku pikir aku cukup satu kali merasakan kecintaan luar biasa terhadap para artis, khususnya artis perempuan. Tapi, takdir perjalanan cintaku ternyata harus menolak itu. Aku jatuh cinta pada Sherina Munaf. Tak perlu merunut dan mencari asbabun nuzul kisah cinta itu, karena itu sama sekali tak penting, dan yang pasti tidak akan pernah ada yang peduli mencatatnya, sehingga di samping tak penting, pasti tidak akan pernah ditemukan riwayatnya pada rak-rak buku baik di toko-toko buku maupun di perpustakaan-perpustakaan besar, apalagi perpustakaan kecil.
Berbeda dengan kecintaanku pada Nike Ardilla, yang ketika itu, ku reka-reka umurku sekitar belasan tahun dan Nike Ardilla yang telah berusia dua puluhan tahun, maka cintaku pada Sherina Munaf berbanding terbalik, aku yang telah berumur tigapuluhan lebih, meski kelihatan masih dua puluhan, Sherina justeru masih berumur tujuh belasan tahun, aku tak ingin menyebutkan secara pasti berapa umur Sherina, biar pembaca tidak terlalu yakin aku betul-betul menjadi pengagum dan penyuka Sherina.
Aku sengaja, tidak akan menceritakan secara detail bagaimana awal mula aku jatuh cinta, di mana aku bertemu kedua perempuan yang beruntung ini (meskipun gagal memiliki), dan akhirnya jatuh cinta. Aku berharap kisah cinta terhadap mereka biarlah tetap menjadi misteri ilahi, sekaligus menjadikan anda semua semakin penasaran, sehingga tidak jadi jengkel. Tapi, aku perlu tegaskan ini kisah nyata!
Sherina Munaf, sebagaimana Nike Ardilla dua perempuan yang hidup di dua generasi berbeda namun memiliki perlakukan yang sama terhadapku, menorehkan kekecewaan yang membuatku murung dan tak enak makan hingga beberapa lama. Menentukan pilihan dan jalan hidupnya tidak seperti yang ku inginkan. Nike Ardilla harus meninggal, sebelum ku inginkan meninggal, dan Sherina lebih memilih Jokowi sebagai Presiden pada saat Pilpres 2014 yang lalu. Mengecewakan bukan?
Aku punya banyak kisah tentang Nike Ardilla, tetapi tak enak membicarakan dia yang telah berpulang. Biarlah kesempatan ini ku gunakan untuk menceritakan tentang Sherina Munaf.
Setidaknya, ada dua kekecewaanku pada Sherina Munaf menjelang Pilpres yang lalu. Pertama, keputusannya untuk memilih Jokowi sebagai Presiden, Kedua, dan ini yang paling menyakitkan. Sherina terlibat aktif mengkampanyekan, menyosialisasikan, dan mengajak kawan-kawannya untuk memilih Jokowi. Bahkan tagar akhirnya milih Jokowi (#AkhirnyaMilihJokowi) menjadi trending topik dunia.
Sikap kedua Sherina ini, bukan hanya melecehkanku yang meskipun ia tidak tahu, aku begitu menyukainya, tapi ini serius, setidaknya aku tidak kalah keren dengan Jokowi, yang juga secara pasti dia tahu bahwa Jokowi juga tidak terlalu memperhatikannya, kecuali setelah ia ngetweet tentang pilihannya terhadap Jokowi. Selain itu, sikapnya ini juga dzalim, karena dia telah berpihak ke Jokowi yang sudah bisa dipastikan sebagai calon Presiden, dengan sederet prestasi lainnya seperti Walikota Solo dan Gubernur Jakarta. Aku sempat bergumam, ya mbok yo sesekali yang dipinggiran dan tak berprestasi juga diperhatikan gitu loh.
Tapi, sudahlah yang lalu biarlah berlalu. Toh akhirnya pilihan Sherina sudah berhasil ambil bagian memenangkan Jokowi jadi Presiden, dan akhirnya Jokowipun telah mulai memperhatikannya dengan memilih ayahnya (bukan mertua Jokowi) Triawan Munaf menjadi Kepala Badan Ekonomi Kreatif, dan melantiknya Senin, 26 Januari 2015 yang lalu.
Tragis!
Bukan persoalan cinta yang kandas, bukan juga soal Triawan Munaf yang dilantik menjadi Kepala Badan Ekonomi Kreatif, semua jabatan yang hingga kapanpun tidak akan pernah mampu ku janjikan apalagi ku amanahkan kepada ayah Sherina Munaf itu, sekali lagi bukan persoalan keduanya itu yang membuat Tragis.