Film merupakan salah satu jenis media yang memiliki daya tarik yang cukup besar dalam kehidupan kita. Akhir-akhir ini banyak sekali film yang menyisipkan bumbu kehidupan para LGBT untuk diproduksi dan dipublikasikan secara luas, contohnya saja film-film dari Netflix. Banyaknya karakter LGBT dalam serial dari Netflix membuat Netflix menjadi media berbasis film yang memimpin representasi LGBT. Tetapi, apakah film tersebut benar-benar mengisahkan kehidupan LGBT sebagai representasi kenyataan atau hanya segmentasi dari teknik marketing belaka?
Di Indonesia, LGBT tetaplah merupakan hal yang tabu di masyarakat, namun perlahan kini melalui media seolah LGBT mulai melakukan normativisasi. Masyarakat yang teologis dan monolitik tentu adalah karakter masyarakat yang sulit untuk permisif terhadap pemahaman identitas gender satu ini. Akan tetapi, upaya propaganda dari beberapa film yang menyisipkan kehidupan LGBT sukses meraih penghargaan di box office movie. Kemudian, ada skeptisisme muncul bahwa kesuksesan itu karena penggambarannya sesuai dengan kenyataan atau sengaja dibuat untuk bahan propaganda dan bumbu baru dalam kreativitas sebuah film.
Dalam konsep dan teori feminis dikatakan bahwa representasi dalam media adalah salah satu cengkraman terkuat untuk menanamkan normativitas persepsi dari isu-isu yang berkembang di masyarakat. Dengan kata lain, melalui media seperti film, kehidupan LGBT dapat diekspos untuk memberikan pemahaman tentang diversifikasi seksual dan hak-hak LGBT kepada masyarakat. Namun, bila yang ditampilkan dalam film hanyalah adegan-adegan LGBT saja, justru itu hanya memperkuat stereotip dan mereduksi diversifitas.
Contohnya film Moonlight yang mendapat penghargaan pada tahun 2017 dalam Academy Awards for Best Picture. Film itu mengisahkan kehidupan seorang pria gay yang berkulit hitam. Dalam pengisahan ceritanya, film Moonlight tersebut diasumsikan mewakili kebenaran mengenai kehidupan gay. Namun, ada juga adegan-adegan LGBT yang diproyeksikan sebagai alat marketing semata.
Kita sebagai konsumen tentu juga memiliki andil dan peran dalam pembentukan representasi yang seimbang serta tepat dari kehidupan LGBT di film. Seperti memberikan kritik melalui media sosial bahwa film yang menceritakan tentang LGBT benar-benar harus menceritakan kisah aslinya, bukan hanya alat propaganda iklan saja.
Kita ambil saja contoh dalam kehidupan sehari-hari ketika berselancar di media sosial yang membahas seputar film, kontroversialnya film Bohemian Rhapsody yang diperankan oleh Freddie Mercury. Freddie adalah musisi yang sangat populer dengan lagu-lagunya didepan publik sekaligus sebagai gay dalam kehidupan seksualnya. Banyak netizen yang mengkritik representasi pengisahan karakter utamanya dalam film Bohemian Rapsody. Hal itu dikarenakan film tersebut lebih banyak merepresentasikan kehidupan Freddie Mercury sebagai gay untuk alat marketing saja, namun mengabaikan realitas dari kehidupan gay yang sebenarnya dalam kehidupan sehari-hari.
Jadi, melalui artikel ini diharapkan penggambaran mengenai bagaimana LGBT di dalam film benar-benar dapat merepresentasikan kehidupan yang sebenarnya dari LGBT itu sendiri. Bukan hanya sebagai propaganda iklan semata untuk menarik perhatian publik. Seharusnya film dapat menjadi media yang ampuh untuk memberikan pemahaman mengenai diversifikasi gender maupun identitas seksual kepada masyarakat. Setidaknya pemahaman tersebut dapat berdampak pada berkurangnya kasus kriminalitas maupun perundungan karena ketidakpahaman atas kesadaran kepada kaum LGBT.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H