Lihat ke Halaman Asli

Rahmat Setiadi

Karyawan swasta yang suka nulis dan nonton film

Membudayakan Budaya Sensor Mandiri pada Anak dan Remaja ( I )

Diperbarui: 12 Desember 2022   20:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dok. Pribadi

Bulan Desember tak bisa dilepaskan dari wacana tentang kiprah kaum perempuan. Berawal dari tanggal penyelenggaraan Kongres Wanita Indonesia (Kowani) pertama pada 22 Desember 1928 yang kemudian menjadikan tanggal 22 Desember Hari Ibu. Berkaitan dengan hal tersebut, berikut kilas balik tentang film dalam perspektif Perlindungan Anak dan Hak Asasi Perempuan.

Melalui webinar "Film dalam Perspektif Perlindungan Anak dan Hak Asasi Perempuan" (3/11/19),  Lembaga Sensor Film (LSF) mengajak masyarakat untuk bersama memikirkan sejauh mana produksi film di Indonesia sudah menjadi tontonan yang tepat bagi keluarga, khususnya anak-anak. Juga sejauh mana film Indonesia menghormati hak asasi perempuan.

"Saat ini banyak tontonan, khususnya tontonan yang berbayar, kurang sesuai dengan nilai-nilai masyarakat," kata Ketua Lembaga Sensor Film (LSF) Rommy Fibri Hardiyanto, ketika membuka webinar tersebut, yang dipandu Hafidha Fatwa, Sekretaris Komisi I LSF. Inilah alasan LSF mengampanyekan Budaya Sensor Mandiri untuk memilah dan memilih tontonan sesuai klasifikasi usia. "Agar masyarakat dapat menonton film dengan cerdas dan tidak akan mudah menonton film yang tidak sesuai dengan usia," jelas Ketua LSF.

Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PP & PA) I Gusti Ayu Bintang Darmawati, SE, M.Si menyampaikan keprihatinannya melihat data film Indonesia, untuk semua Umur (SU) hanya 10-14% (2019). Sebelumnya, pada 2018, meskipun Badan Ekonomi Kreatif mencatat produksi film layar lebar nasional meningkat, ternyata genre anak-anak hanya 2%.

 

Seperti dikatakan Joko Anwar, Sutradara film, pada 2000-an ada beberapa film anak. Namun, tentu masih sangat kurang. Sebut saja yang terkenal hanya Petualangan Sherina (2000), Denias, Senandung di Atas Awan (2006), Laskar Pelangi (2008), dan Garuda di Dadaku (2009). Yang lebih memprihatinkan, 33% penonton film -- yang sebagian besar untuk usia remaja dan dewasa itu -- adalah usia 10-19 tahun.

 

"Jika dianalisis, jumlah penonton usia anak tidak sebanding dengan jumlah film anak yang tersedia. Kondisi ini membuat anak-anak turut menonton genre film yang tidak sesuai dengan usia mereka," ujar Menteri PP & PA saat itu. "Padahal anak adalah peniru ulung. Selain meniru tingkah laku orang tua dan orang-orang di sekitar, juga dapat meniru berbagai tokoh yang mereka tonton," I Gusti Ayu Bintang Darmawati menambahkan.

Menjelang akhir tahun 2019 dalam webinar yang diselenggarakan oleh Lembaga Sensor Film, Menteri Bintang Darmawati mengingatkan, anak termasuk kelompok yang belum matang baik secara fisik, material, maupun sosial. Bahkan lebih berisiko terhadap tindakan kekerasan, eksploitasi, dan perlakuan salah lainnya. "Untuk itu, sangat penting bagi produser film dan iklan untuk memublikasikan konten yang memberikan nilai-nilai positif, inovatif, dan kreatif bagi anak-anak," tegas Bintang Darmawati, yang juga mengeluhkan iklan-iklan tidak layak anak.

 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline