Lihat ke Halaman Asli

Rahmat Setiadi

Karyawan swasta yang suka nulis dan nonton film

Gempa Yogya dan Gempa Cianjur

Diperbarui: 2 Desember 2022   14:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Image by Kompas.com

Gempa bumi berkekuatan 5,6 SR terjadi di Cianjur terjadi pada Senin, 21 November 2022 pukul 13.21. Dilansir dari Kompas.com tanggal 1 Desember 2022 pukul 19.18 WIB Herman Suherman, Bupati Cianjur, meng-up date kerusakan bangunan, kerugian materiil berupa rumah rusak yang sudah tervalidasi per pukul 13.00 WIB mencapai 24.102 rumah.  "Sekolah 520 unit, tempat ibadah 190 unit, fasilitas kesehatan 14 unit, dan gedung kantor 17 unit," ujar Herman.

Ada yang datang dan tidak lama kembali ke asalnya, sekedar memberi bantuan logistik dan mempercayakan pada orang di tempat kejadian. Ada pula yang datang sebagai " turis bencana " untuk sebuah eksistensi dan ekspos belaka. Padahal seperti diketahui bersama bahwa keadaan krodit bisa mengacaukan suasana dan kacau berfikir.

16 tahun yang lalu, Gempa Bumi tektonik kuat mengguncang Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah pada Sabtu pagi, 27 Mei 2006 kurang lebih pukul 05:55:03 WIB selama 57 detik. Gempa Bumi tersebut berkekuatan 5,9 pada skala Richter. Sorenya di hari yang sama, saya dan istri bertolak ke kampung halaman, Bantul, dan tiba di tujuan keesokan harinya, tanggal 28 Mei 2006.  

Kami lewat jalur selatan, karena kami terima kabar di perbatasan Jogja -- Purworejo jalur utama ada penutupan akses masuk ke Jogja. Ternyata kami juga menemui hal yang sama, setelah meyakinkan para petugas yang berjaga, bahwa orang tua kandung kami tinggal di Bantul, kami bisa meneruskan perjalanan.

Ternyata tidak hanya satu titik, di perbatasan kabupaten Kulonprogo- Bantul separuh jalan raya menuju jembatan sungai Progo ditutup dengan barikade bambu. Kami pun dihentikan dan ditanya identitas serta tujuannya.  Beruntung istri masih lancar berbahasa Jawa dan dengan lancar menyebut nama perangkat desa dari kepala desa, kepala dusun sampai RT-RW tempat tinggal kelahirannya.

Memasuki perbatasan antar desa pun ada barikade, tepatnya portal ( buka-tutup ), yang dijaga oleh warga setempat. Kami pun mengulang ucapan yang tidak jauh berbeda dengan di barikade sebelumnya. Luar biasa jengkelnya. Kalutnya pikiran yang tiada menentu tentang bagaimana nasib orang tua dan sanak saudara bercampur dengan fokus pada keadaan yang sedang terjadi dihadapan.

Sesampainya di desa Gading Sari kecamatan Sanden kami masih menyaksikan betapa hebatnya gempa yang melanda wilayah itu. Berita-berita dampak gempa yang selama ini saya ketahui dari berita-berita, saat itu saya saksikan langsung dengan mata kepala sendiri. Jalan yang rusak, rumah-rumah yang runtuh, jerit tangis duka, pemadaman listrik, akses komunikasi/telpon mati. Kepanikan yang lambat mereda membuat banyak orang, terutama laki-laki meninggikan volume bicaranya untuk mempertegas maksud ucapannya.

Sepenggal kisah tentang bagaimana kesalnya dihadang dan dicecar banyak pertanyaan di perbatasan-perbatasan wilayah akhirnya terjawab. Saya tidak melihat sebuah surat edaran tapi cerita tentang masuknya orang dari luar daerah yang memanfaatkan keadaan memaksa adanya inisiatif warga setempat untuk melakukan penjagaan dan penyeleksian akses keluar-masuk orang serta pembentukan petugas ronda.

Di malam pertama kejadian gempa dikabarkan adanya segerombolan orang tidak dikenal yang menjarah rumah, toko, warung-warung warga yang ditinggal penghuninya ke tempat penampungan. Ini gila! Dan benar-benar saya dengar sendiri.

Orang yang tidak dikenal tersebut sengaja datang dengan kendaraan, bahkan dengan truk. Warga yang sebagian besar dalam keadaan panik tidak menggubris keberadaan orang lain, apalagi masih sesama orang yang berbahasa sama, bisa dimengerti. Para korban menurut saja saat diarahkan untuk meninggalkan rumah berkumpul di lapangan, di halaman rumah kepala dusun, di halaman kantor desa. Mereka tidak banyak memikirkan perabotan rumah, yang penting anggota keluarga lengkap langsung beranjak meski hanya dengan pakaian yang mereka kenakan.

Tentu saja berbeda, Yogyakarta dan Cianjur. Bisa dibayangkan, wilayah Cianjur yang tertimpa bencana merupakan daerah dataran yang tidak rata. Jalan-jalan penghubung antar pemukiman penduduk telah hancur akibat gempa, ditambah dengan hujan yang mengguyur menambah kian parah sisa-sisa jalan yang masih tampak.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline