Lihat ke Halaman Asli

Rahmat Setiadi

Karyawan swasta yang suka nulis dan nonton film

Tontonan Tuntutan Tuntunan Hidup

Diperbarui: 1 Desember 2022   06:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dok Pribadi

Sebagian besar manusia hidup berpuluh tahun dalam arus khayalannya, keyakinan-keyakinan yang kurang mendasar. Sesuatu yang semu, di luar kenyataan. Menghidupkan apa-apa yang ada di kepalanya, di hatinya.

Mengaitkan penderitaan dengan apa yang dilihatnya di layar kaca, yang didengarnya dari idolanya, panutannya. Berusaha menyingkirkan kejelekan, ketidakpatutan, pahit-getir dihadapannya dengan  berpaling kepada kemapanan, tokoh hero, quotes, dan tawa canda para pesohor.

Air mata berlinang namun hati teriak, " Sabarlah, tahan! Kelak karma bicara". Memorinya mengeluarkan gambaran orang yang teraniaya akan dapat rejeki nomplok menjelang akhir jam tayang. Senyum kuda dengan gerak kerongkongan menelan ludah, sesegera mungkin bergumam, "Tuhan tidak pernah tidur", pikiran melayang ke film-film balas dendam, satu lakon memberantas koloni mafia.

Tak berani beradu tatap dengan orang yang dianggap lebih derajatnya, lalu berdalih akan lebih beruntung di hari kemudian, menilai bahwa dunia memang penjara baginya. Namun yang terjadi berandai-andai hadirnya sang punisher, sang ratu adil.

Woyy! Tidakkah ada alternatif lainnya?

Yang sering dipertontonkan, diproduksi sebagai tontonan untuk tuntunan memang menuruti apa yang banyak dipegang oleh kebanyakan orang, pandangannya terhadap harapan, cita-cita, keyakinan-keyakinan, mimpi! Itu tuntutan pasar, top survey.

Kita akan puas melihat pelaku kejahatan mendapatkan ganjaran, bahagia saat yang miskin teraniaya bernasib mujur, akan mudah terharu ketika kemapanan merata, tak ada lagi derita. 

Alternatif itu ialah lari dari semua kenyataan dan menyingkirkan semua memori, menata hati dengan memilah mana yang tepat saat situasi tertentu. 

Bukan terjebak pada doktrin yang selalu teriringi iklan, bukan pada taklid buta, bukan. Kita bukan followers, kita berasal dari penciptaan dengan potensi yang sama. Berharap silahkan, jangan berkhayal!

Jagoan nggak, kaya kagak, kafir, iya!

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline