Lihat ke Halaman Asli

Rahmat Setiadi

Karyawan swasta yang suka nulis dan nonton film

Budaya Internal dan Internasionalisasi

Diperbarui: 27 November 2022   10:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Image by pexels-Tom Fisik

Bicara budaya bagi saya itu cukup sulit, karena apa? Mungkin saya yang tidak memahami makna budaya, atau saya yang tidak kompeten untuk membahasnya. Atau mungkin karena budaya itu sendiri yang tidak mau masuk ke pemahaman saya.

Masalahnya begini, saya, tuh, bingung dengan budaya yang dimaksud. Sepengetahuan saya budaya yang terpublikasi selalu identik dengan seni. Parade, karnaval, gebyar, pagelaran yang gak jauh dari seni tari, seni suara, seni berpakaian, seni kuliner, lalu berujung pada pariwisata.

Sementara budaya dalam bentuk bahasa, adat kebiasaan, hukum-hukum adat, justru kian terdesak dengan dalih nasionalisasi. Bahasa daerah terdesak oleh bahasa Indonesia, hukum adat terdesak oleh hukum positif praktis, adat kebiasaan terkikis, yang kesemuanya bisa digeneralisir dengan yang disebut efek modernisasi.

 

Sementara, sanggar-sanggar seni kian terdesak oleh minat yang berorientasi pada pendapatan/ekonomi. Seni pahat kayu terhambat oleh minimnya bahan kayu, seni pahat batu terhambat oleh minimnya pasar, seni kerajinan tangan tidak jauh berbeda. Sanggar tari, lukisan, dan sanggar-sanggar seni dan budaya harus tertatih-tatih memenuhi kebutuhan anggotanya.

Seni berdalang mati suri, bukan saja karena regenerasi yang terhambat tapi juga pada minat penonton dan mahalnya pagelaran yang komplit. Seni debus, seni beladiri, kanuragan, yang mengimbangi kesehatan  jiwa dan raga, stag sebatas permainan belaka. Bahkan ajang seni budaya ada yang masih dianggap hal sakral hingga timbul kesan mistik yang justru menjadikannya kerdil dan terkucil dengan sendirinya.

Kita sering mendengar dan meneriakkan untuk menjaga, melestarikan budaya luhur negri ini, tapi kita sendiri lebih memilih menerima budaya luar negri. Pemerintah memprogramkan cagar budaya, tapi tidak membatasi dengan ketat atas budaya keterbukaan, modernisme. Kita ingin tetap berbudaya, tapi kita dipaksa untuk tidak berbudaya.

Keterbatasan kemampuan naluriah manusia cenderung diimbangi dengan kemampuan lain yang diperoleh melalui proses belajar. Kemampuan belajar ini dimungkinkan oleh berkembangnya tingkat intelegensi dan cara berpikir simbolik pada manusia.

Pewarisan kebudayaan tidak hanya secara vertikal atau menurun ke anak cucu, tetapi juga horizontal di mana manusia yang satu dapat belajar kebudayaan dari manusia yang lain.

Berbagai pengalaman manusia dalam rangka kebudayaannya akan diteruskan kepada generasi berikutnya atau dapat pula dikomunikasikan kepada individu lainnya karena ia dapat mengembangkan gagasan-gagasannya dalam bentuk lambang-lambang vocal berupa bahasa, serta dikomunikasikan dengan orang lain melalui kepandaiannya berbicara dan menulis.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline