Lihat ke Halaman Asli

Rahmat Setiadi

Karyawan swasta yang suka nulis dan nonton film

Bahasa Indonesia Vis a Vis Bahasa Pergaulan

Diperbarui: 6 November 2022   17:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Murid kelas VII belajar menulis aksara Sunda dalam mata pelajaran muatan lokal Bahasa Sunda di SMP Negeri 25, Depok, Jawa Barat, Rabu (22/1/2020). Pelestarian bahasa Sunda dilakukan secara reguler melalui mata pelajaran muatan lokal yang diberikan setiap minggu sekali selama dua jam pelajaran. (Foto: KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN)

Bahasa sudah kita kenal sejak lahir, dengan kata lain berbahasa kita dapatkan dari orangtua kita. Dalam perkembangannya tidak hanya bahasa ibu-bapak yang kita kuasai, bahasa ibu-bapak belum cukup untuk hidup bernegara, kita perlu menguasai bahasa lainnya. 

Tentu saja diperlukan bahasa pemersatu, bahasa yang bisa dipahami oleh semua orang yang tidak seibu-sebapak. Diperlukan bahasa yang dimengerti oleh orang-orang lintas suku-budaya, daerah, dan lintas negara. Maka dibutuhkan Bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu.

Bahasa Indonesia secara aklamasi disetujui, atas usulan M Tabrani pada Kongres Pemuda 2 Mei 1926, bahasa Melayu yang menjadi acuan karena telah banyak digunakan sejak abad ke- 6 Masehi di ganti dengan istilah bahasa Indonesia, yang kemudian diikrarkan dalam Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. 

Untuk mengukuhkannya diadakan Kongres Bahasa Indonesia 25-28 Juni 1938 di Solo dan secara resmi menjadi Bahasa Negara Republik Indonesia berdasarkan UUD 1945 pasal 36. Sejak itu hingga kini bahasa Indonesia kita pakai sehari-hari bersama dengan bahasa lahir kita.

Bahasa Indonesia mengalami perkembangan sebagaimana bahasa lahir kita. Ada saja perubahan, penambahan dan ada saja yang jarang lagi kita gunakan, terlebih pada saat bahasa itu dituliskan. 

Orang yang berbicara atau menulis pasti memilih kata yang tepat, agar bisa dimengerti oleh lawan bicaranya, begitu pula dengan penulis. Diksi adalah cara penyebutan dan penulisan kata agar bisa dimengerti oleh banyak orang, menjadi hal yang kerap mengalami banyak perubahan.

Diksi-diksi dalam bahasa Indonesia bisa dikatakan paling banyak jumlahnya jika dibandingkan dengan diksi di bahasa negara lain. 

Ini dikarenakan bahasa Indonesia merupakan serapan dari banyak bahasa daerah, bahkan dari bahasa asing juga. Selain itu, bahasa pergaulan juga menjadi penyebab kian bertambah banyak diksi yang dipakai dalam berbahasa keseharian.

Saat ini kata "anjing" sudah menjadi diksi. Ia tidak lagi hanya berarti binatang sesungguhnya, atau umpatan. Kata anjing tidak lagi dianggap kasar. 

Dari kata itu dalam perjalanannya melahirkan kata anjiir, anjay, uasu, njing, yang berati sebuah ungkapan kekaguman, heran, dan terkadang jadi sebuah kata sapaan. Dalam komunikasi sudah menjadi hal yang lumrah dalam bahasa pergaulan. Tapi, apakah dibenarkan diksi semacam ini dalam berbahasa Indonesia?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline