Hal positif yang disambut antusias oleh hampir semua partai mitra koalisi, bahkan juga partai di luar koalisi, adalah ketika Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang juga sebagai capres terpilih untuk periode 2019-2024 memstikan ke depan jabatan posisi Jaksa Agung tidak akan lagi diisi oleh figur yang punya keterkaitan dengan partai politik.
Sambutan positif tersebut tentu karena perasaan lega dan juga harapan pupusnya kecurigaan publik yang selalu memberikan penilaian politis pada kinerja penegakan hukum oleh pemerintah, mengingat pada periode pertama Presiden Jokowi mempercayakan jabatan Jaksa Agung pada M Prasetyo, yang dalam Pemilu 2014 lalu merupakan caleg terpilih Partai Nasdem dari daerah pemilihan Jawa Tengah II (Kabupaten Kudus, Jepara, dan Demak).
Meskipun ada alasan dan argumentasi soal profesionalitas, mengingat Prasetyo juga pernah menjabat sebagai Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (Japindum) dan Direktur Upaya Hukum Eksekusi dan Eksaminasi Kejaksaan Agung RI pada tahun 2005-2006, tetapi toh kecurigaan publik dan penilaian politis atas kinerja penegakan hukum oleh Kejaksaan Agung selalu menjadi titik serangan politik terhadap Jokowi.
Kini, pasca ditetapkan sebagai capres terpilih, Jokowi telah menegaskan bahwa posisi Jaksa Agung, siapapun yang dipilihnya nanti, bukanlah dari unsur parpol.
Ada bermacam penilaian yang muaranya positif atas kepastian yang disampaikan mantan Wali Kota Solo dan Gubernur DKI Jakarta itu. Dan yang bisa ditarik benang merah dari sikap tegasnya itu, dari sisi penilaian tentu bisa menunjukkan "sikap kapok" sehingga tidak lagi mengulang apa yang dilakukan pada periode pertamanya.
Dan "sikap kapok" itu bisa dimaknakan sebagai bentuk penyesalan, sehingga tidak mengulangi lagi dan berupaya agar ke depan bisa lebih baik lagi. Bukan "sikap kapok" layaknya pepatah "Taubat Sambal" yang kapok karena pedasnya tetapi mengulang lagi di kemudian hari.
Lalu yang menjadi pertanyaan adalah, apakah "sikap kapok" Jokowi dengan tidak mau lagi menempatkan politisi sebagai Jaksa Agung karena dalam lima tahun pemerintahannya ada mudzarat yang tidak boleh terjadi lagi di periode keduanya nanti?
Jawabannya tentu tidak bisa hitam putih karena ini ranah politik. Tetapi, betapapun Presiden Jokowi tidak secara tegas menyampaikan ada rasa penyesalan, tetapi nyatanya saat ini telah menyampaikan pernyataan tegas yang nantinya bakal menjadi koreksi dalam pemilihan figur Jaksa Agung.
Betapapun juga partai koalisi pendukung Jokowi, terkecuali Nasdem, tak pernah secara terbuka menyampaikan kekecewaannya atas pengisian jabatan dan kinerja Jaksa Agung di periode pertama, tetapi toh mereka dengan tegas menyampaikan dukungannya atas rencana penunjukan Jaksa Agung bukan dari parpol.
Betapapun partai koalisi seperti PKS dan Partai Gerindra menyampaikan kritik kerasnya kepada Jokowi, tetapi toh atas pernyataan Jokowi yang tak lagi mengangkat Jaksa Agung dari parpol juga didukungnya secara penuh.