Gerimis kecil di tengah malam tak menyurutkan seorang anak muda untuk mengawali langkahnya menjemput rejeki di awal tahun 2019. Tidak ada rasa takut, pun tidak ada pertimbangan cara yang dilakukan itu baik atau tidak, halal atau haram. Baginya, semua ketika sudah terkonversi menjadi uang yang ada hanya asli atau palsu. Sepanjang uang itu asli, maka tidak mau dia melabelinya sebagai uang halal ataupun uang haram.
Langkah kakinya dengan begitu hati-hati dan memasang jurus kewaspadaan menuju ke sebuah bangunan mewah yang kala itu tak begitu terang sinar lampunya. Mungkin karena sudah larut malam sehingga sang empunya rumah wawah di tengah kota Jakarta itu memilih untuk mengurangi penerangan, termasuk di samping kiri yang bertematan dengan jalan setapak.
Ada celah kecil di jendela samping kiri rumah, yang dimanfaatkan oleh pemuda itu untukmengintai apakah masih ada kehidupan di dalamnya. Satu mata sang pemuda yang ditempelkan di celah jendela menangkap sepasang suami istri sedang shalat malam, tepatnya pas sedang mengucapkan uluk salam tanda shalatnya selsai. Keduanya lalu menengadahkan tangan untuk berdoa, tak sampai lima menit, keduanya mengusapkan telapak tangan ke muka tanda ritual doa sudah usai.
Di luar, si pemuda terus membidikkan matanya untuk mengikuti gelagat pasangan suami istri yang sudah terlihat sepuh itu. Terlihat oleh mata pengintai, si bapak melepas pecinya kemudian dicantelkan di balik pintu, sementara si ibu melipat mukena kemudian menaruh di rak kecil di pojokan kamar. Mereka lalu duduk dan berdiskusi ringan
"Bu, anak kita kan sudah besar. Sebagai anak perempuan, sudah waktunya ada yang menyunting agar membangun keluarga" kata Pak Toro, kepada istrinya, Bu Tiwi.
"Iya Pak, memang sudah cukup umur, sudah usia 23 tahun. Tapi mau bagaimana lagi, walaupun cantik tetapi sampai sekarang belum ada yang melamar" jawab Bu Tiwi.
Pak Toro-nama lengkapnya Nusantoro- dan istrinya, Bu Tiwi-nama lengkapnya Pertiwi memang dikaruniai satu anak perempuan yang cantik bernama Dewi Sri. Putri tunggal pasangan Toro-Tiwi itu merupakan pewaris tunggal tanah 3 Ha di bilangan Jakarta Pusat, 6,5 Ha di Banten, dan 4.500 M tanah di Bali. Pasangan Toro-Tiwi memang tergolong tuan tanah. Tetapi meraka tidak pernah mengenyam pendidikan, baik pendidikan formal maupun pendidikan agama. Meski keseharian ibadahnya rajin, tetapi dari segi pengetahuan keduanya adalah orang awam.
"Bapak sih, pasang kriterianya untuk calon anak mantu kita terlalu tinggi" timpal Bu Tiwi.
"Iya lah Bu. Kita harus dapat mantu yang tepat, agar bisa menjadi pemimpin dan imam di keluarga kita yang awam, biar bisa membimbing ibadah kita, bisa membimbing anak kita" kata Pak Toro tak mau kalah dengan keluhan sang istri.
"Makanya, anak kita nanti harus dapat pemuda yang santri, mondoknya paling tidak 10 tahun di Jawa Timur sana, juga luwes jadi pemimpin, berwibawa, karena nanti akan mengelola warisan yang akan kita berikan" tambah Pak Toro panjang lebar mengenai criteria yang ditetapkan untuk calon mantunya.
Tanpa sadar, percakapan pasangan suami istri yang sudah sepuh itu dipantau oleh pemuda yang sejak mereka selesai shalat malam sudah mengintainya. Sandri, pemuda dari pulau seberang yang sudah lima tahun di Jakarta terus memelototi percakapan dan menajamkan pendengaran, otaknya berputar menyusun sekenario. Ia batalkan, niatnya menggasak beberapa benda berharga di rumah itu meskipun dua pekan sebelumnya ia sudah melakukan pengintaian. Masih dalam rintik gerimis, dia putuskan pulang ke kontrakan meski tanpa hasil materi.