Lihat ke Halaman Asli

Dekonstruksi Teologi yang Membumi

Diperbarui: 21 Februari 2022   10:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Dekonstruksi Teologi Yang Membumi

Filsafat terandaikan sebilah pedang, mempunyai fungsi yang sesuai dengan subjek yang mempelajarinya. Berbagai macam varian isme-isme yang terdaftar di list kamus filsafat. Namun hingga pada akhir nya kini paham logosentrisme merasuk dan mendominasi filsafat barat. Logosentrisme merupakan suatu paham dimana logos transendental melampaui dunia fenomena. Maksudnya, konsep atau teori dalam filsafat itu dianggap telah menunjukkan suatu kebenaran yang telah terwakilkan oleh logos, dan kebenaran tersebut juga harus ter-objektivikasikan dan bersifat universal. Namun seorang filsuf asal prancis bernama jacques Derrida berbeda ia mencoba mengenalkan suatu cara membaca teks bernama dekonstruksi. Paradigma dekostruksi ini mencoba meruntuhkan paham logosentrisme yang bersifat tunggal, objektif dan universal. Namun tidak sampai disana, tulisan ini sedikit membahas lebih jauh dan membahas lebih spesifik merujuk pada dampak dekonstruksi terhadap diskursus teologi.
 
Apa itu dekonstruksi?
Dekonstruksi merupakan suatu strategi dalam membaca teks. Istilah dekonstruksi memiliki arti “mengurai, membuka, melepaskan” . oleh karenanya dekonstruksi bermaksud untuk mengurai struktur dan pusat makna dalam teks yang bersifat tunggal atau absolute. Atau secara umum dekonstruksi ingin mencoba menunjukkan keberadaan oposisi-oposisi biner implisit dalam teks. Akibatnya, dekonstruksi tidak bermaksud menghancurkan teks. Dekonstruksi lebih bertujuan menghancurkan klaim otoritatif yang menganggap satu bentuk pemaknaan lebih benar dibanding dengan pemaknaan lain.


Ada empat hal yang mesti dipahami dalam dekonstruksi. Pertama, dekonstruksi bermaksud membongkar hierarki metafisik yang bersifat oposisi biner. Contoh oposisi biner misalnya: laki-laki dan perempuan, kuat dan lemah, jiwa dan badan. Dalam pola oposisi biner, yang pertama biasanya dianggap lebih utama dari pada yang kedua. Yang kedua, sekedar manifestasi, turunan, dan sekunder. Ketiga, dekonstruksi menawarkan strategi untuk menemukan kontradiksi dalam teks. Penemuan tersebut mengarahkan pada pemahaman tersebut mengarahkan pada pemahaman akan adanya inkonsistensi dalam teks. Keempat, dekonstruksi menjadikan teks yang semula familiar menjadi asing bagi pembaca. Hal itu terjadi karena makna-makna yang sebelumnya terpinggirkan oleh pusat atau fondasi teks, kini disingkapkan oleh dekonstruksi.


Dalam hal ini kita dapat memastikan secara lebih dalam bahwa gaya berfikir ini mencoba menolak logosentris yang mempunyai dikotomi subjek-objek. Yang mana subjek menjadi dominan mengeksploitasi objek. Hingga pada akhirnya kebenaran ini akan menjadi kekerasan epistemik bagi yang terpinggirkan dan yang tersubordinasikan.
 
Apa yang perlu di dekonstruksi pada teologi?
Ratusan bahkan ribuan buku telah di tulis orang untuk memperbincangkan masalah teologi ini, yang hampir keseluruhan nya bertujuan untuk mensucikan (tanzih) tuhan. Ketika membicarakan relasi tuhan dan manusia maka menjadi hal yang lumrah jika pemikiran teologi selalu bersifat teo-sentris, dimana tuhan menjadi pusat segala kekuatan dan kekuasaan. Sedangkan manusia harus tunduk dan di tundukan dihadapan tuhan. Di tengah kejlimetan pembahasan teologi, banyak manusia yang mulai mempertanyakan apa relevansinya teologi untuk menyelesaikan masalah masalah sosial dan kemanusiaan, pertanyaan ini muncul karena teologi dianggap sebagai alih alih menjawab problem manusia dalam banyak hal justru digunakan sebagai alat untuk melakukan penindasan kepada manusia. Karena itu teologi bukan menjadi sarana untuk "Mentransformasikan masyarakat",  tapi lebih sebagai bidang kajian untuk "Mentransformasikan tuhan" Pemikiran seperti ini muncul karena adanya keyakinan bahwa teologi tidak ada kaitan nya dengan realitas sosial. Kedua nya merupakan sesuatu yang terpisah sama sekali. Teologi adalah wilayah ketuhanan, sedangkan realitas sosial adalah wilayah kemanusiaan. Jika kita berpacu pada pandangan yang seperti ini maka tidak ada kaitan nya sama sekali antara teologi dan transformasi sosial itu artinya jika orang ingin menjadikan teologi sebagai basis transformasi sosial tak ubah nya seperti mencari jarum di tengah padang pasir yang maha luas.
Pertanyaan yang kemudian muncul adalah teologi apa yang bisa di jadikan basis transformasi sosial? Maka disinilah penting nya dekonstruksi dalam upaya "Memanusiakan teologi" dan "Menteologikan manusia". Memanusiakan teologi berarti menjadikan teologi mempunyai visi kemanusiaan dan menteologikan manusia berarti menjadikan manusia sebagai manusia yang berbasis pemahaman teologis. Karena itulah para pemikir teologi mulai mencari alternatif lain untuk merumuskan sebuah pemahaman teologi yang memihak kepada manusia, sehingga dalam kristen munculah istilah teologi pembebasan yang belakangan juga di adopsi beberapa pemikir islam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline