Indonesia, negara kepulauan yang luas dengan hutan hujan terbesar ketiga di dunia, menghadapi tantangan yang berat. Seiring dengan pesatnya pertumbuhan ekonomi, emisi gas rumah kacanya pun ikut meningkat. Namun, Indonesia telah membuat janji yang berani: untuk mencapai "FOLU Net Sink 2030."
Sasaran ambisius ini bertujuan untuk mengubah hutan dan lahan negara ini menjadi penyerap karbon raksasa, yang menyerap lebih banyak gas rumah kaca daripada yang dipancarkannya pada tahun 2030.
Dapatkah Indonesia melakukan tindakan penyeimbangan yang rumit antara pertumbuhan ekonomi dan tanggung jawab lingkungan ini?
Memahami Taruhannya: Perubahan Iklim dan Indonesia
Momok perubahan iklim membayangi Indonesia. Naiknya permukaan air laut mengancam kota-kota pesisirnya, sementara peristiwa cuaca ekstrem seperti banjir dan kekeringan mengganggu pertanian dan mata pencaharian. Apa penyebabnya? Terutama, emisi gas rumah kaca, dengan penggundulan hutan dan perubahan tata guna lahan yang berperan signifikan.
Menyadari urgensi tersebut, Indonesia bergabung dalam perjuangan global melawan perubahan iklim dengan meratifikasi Perjanjian Paris pada tahun 2016, yang berkomitmen untuk mengurangi emisinya.
Komitmen ini semakin diperkuat pada tahun 2022, dengan meningkatkan standar target pengurangan emisi. Inti dari rencana ambisius ini adalah FOLU Net Sink 2030.
Menguraikan FOLU Net Sink 2030
FOLU, yang merupakan singkatan dari Kehutanan dan Pemanfaatan Lahan Lainnya, mencakup berbagai ekosistem yang penting untuk penyerapan karbon, termasuk hutan, lahan gambut, dan hutan bakau.
Saat ini, ekosistem tersebut mengalami tekanan yang sangat besar akibat penggundulan hutan, yang disebabkan oleh perluasan pertanian, penebangan liar, dan pembangunan infrastruktur.