Bagi sebagian orang mungkin ketika keluarga, kerabat, teman dekat, atau bahkan sosok inspiratif yang meninggal dunia pasti akan dingat sekalipun sosok tersebut telah tiada. Hal ini juga yang patut kita pertahankan mengingat bukan untuk kesedihan semata, namun untuk tetap terus "Melawan." Kenapa demikian.? hal tersebut saya sematkan untuk mengingat perlawanan sosok "Munir Thalib Said." kenapa kita harus mengingat sosok beliau, betapa pentingnya beliau untuk dikenang, atau bahkan kenapa kita harus mewarisi semangat perlawanan beliau, siapa sosok beliau sebenarnya, kenapa pada saat hidup beliau rentan terkena intimidasi, kenapa selama hidup beliau sangat konsisten dalam menyuarakan perlawanan terhadap ketidakadilan. Sosok seperti beliau tidak mungkin tidak banyak di Indonesia dan maka untuk individu yang masih hidup sampai sekarang harus tetap mewarisi semangat perlawanan beliau.
Di sepanjang tahun 2024 kita telah diterpa banyak hal baik itu masalah Pemilu, bobroknya Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga hukum tertinggi dalam mengambil keputusan, munculnya RUU siluman yang tak masuk prolegnas namun dibahas oleh DPR RI, seperti RUU Polri misalnya, kemudian masalah perampasan hutan adat suku aywu di Papua, darurat konstitusi revisi UU pilkada yang sempat meresahkan namun kemudian penyelenggaraannya masih patuh terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi. Sekalipun negara dalam hal ini tidak baik-baik saja namun kita tetap mengumandangkan perlawanan terhadap ketidakadilan yang terjadi.
Perlawanan kita hari ini terhadap semua ketidakadilan yang terjadi itu semua juga dilakukan oleh sosok "Munir Thalib Said." Beliau bahkan menjadi garda terdepan untuk melawan penindasan dan ketidakadilan, sekalipun beliau sering di intimidasi selama hidupnya hingga akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya di langit Rumania. Munir memiliki nama lengkap Munir Said Thalib. Ia merupakan putra dari pasangan Said Thalib dan Jamilah. Munir lahir pada 6 Desember 1965 di Batu malang, Jawa Timur. Ia tumbuh di tengah keluarga yang merupakan pedagang muslim keturunan Yaman, Arab. Meskipun tak lahir dari keluarga aktivis, latar belakang keluarganya jugalah yang membawa Munir muda masuk ke dalam sejumlah organisasi Islam. Organisasi keagamaan yang ia masuki di antaranya Himpunan mahasiswa Islam (HMI) dan Al Irsyad.
Sedari kecil Munir terbentuk menjadi anak yang sederhana dan menghargai orang lain. Sejak ayahnya meninggal saat duduk di kelas 5 SD, Munir ikut dengan ibunya untuk membantu berdagang. Di sana, ia kemudian belajar cara berinteraksi, berhubungan, serta menghargai orang lain. Ibu Munir merupakan seorang perempuan Arab tradisional yang hidup di sektor domestik dan banyak menghabiskan waktu untuk anak. Meskipun tingkat pendidikan yang terbatas, ibu Munir mempunyai interpretasi terhadap semua hal yang terjadi di luar rumah. Seperti kejengkelannya terhadap peristiwa penyerangan terhadap etnis cina di Jawa, termasuk di Malang pada tahun 1977. Interpretasi ibunya tentang etnisitas inilah yang juga mempengaruhi pemikiran Munir sehingga tidak memandang suku dan agama dalam advokasinya.
Benang merah Munir dengan perjuangan HAM agaknya memanglah skenario Tuhan, sebab sejak kecil dia sudah berhubungan dengan hukum. Munir muda yang saat itu duduk di bangku SMP pernah menemukan mayat perempuan terbunuh lalu melaporkannya ke polisi. Pengalaman ini lantas memberikan pelajaran bagi Munir untuk memperjuangkan kebenaran. Munir juga dikenal piawai dalam berdiskusi, tidak tahan duduk diam dalam kelas melainkan bergerak dan bertindak. Ia memiliki moral kekerabatan, tanpa pamrih, dan simpati kepada sesama manusia pun terlihat sejak remaja. Lulus dari pendidikan menengah atas, Munir memutuskan melanjutkan pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Brawijaya. Ia terbentuk sebagai mahasiswa yang aktif dan kritis.
Munir merupakan salah satu tokoh yang aktif dalam membela penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia pada masa Orde Baru dan merupakan salah satu pendiri lembaga swadaya masyarakat Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) dan Imparsial. Deretan pembelaan Munir terhadap ketidakadilan seperti Kasus penghilangan paksa terjadi pada periode 1997-1998, ketika Indonesia beralih dari era orde baru menuju era reformasi. Dalam kasus penghilangan paksa tersebut, sedikitnya ada 24 orang yang menjadi korban, di mana 13 orang hingga kini belum diketahui nasibnya. Munir bersama Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) lantas mulai tampil di publik dan mendesak negara bertanggung jawab atas peristiwa penculikan tersebut. Munir sendiri menjadi penasihat hukum korban dan keluarga korban penculikan tersebut. Atas upayanya itu, Munir dan KontraS berhasil membebaskan sembilan orang aktivis.
Kasus Marsinah terjadi pada 1993. Ia merupakan seorang aktivis buruh perempuan di PT CPS Sidoarjo, Jawa Timur. Marsinah diculik setelah mengadakan aksi demonstrasi di perusahaan tempatnya bekerja. Setelah tiga hari menghilang, jenazahnya ditemukan di hutan di Dusun Jegong, Desa Wilangan. Ketika ditemukan, pada tubuhnya terdapat tanda-tanda bekas penyiksaan berat. Ketika mengawal kasus ini, Munir dan sejumlah aktivis HAM lainnya berhadapan dengan Komando Daerah Militer V Brawijaya. Munir dan kawan-kawan aktivis HAM juga melakukan investigasi terhadap kasus pembunuhan Marsinah yang diduga melibatkan aparat militer. Saat itu, Munir ditunjuk menjadi salah satu pengacara dalam kasus pembunuhan Marsinah.
Kasus Tanjung Priok merupakan salah satu tragedi pelanggaran HAM berat di Indonesia. Peristiwa itu terjadi pada 1984, di kawasan Tanjung Priok, ketika sejumlah orang berdemonstrasi menolak penerapan asas tunggal Pancasila yang diusulkan oleh Presiden Soeharto kala itu. Penolakan tersebut lalu ditanggapi keras oleh aparat keamanan sehingga menewaskan 24 orang dan 55 lainnya luka-luka. Dalam kasus tersebut, Munir pernah tampil menjadi penasihat hukum keluarga korban Tragedi Tanjung Priok 1984 itu. selain itu Munir juga mengadvokasi kasus pelanggaran HAM lainnya Di antaranya Tragedi Trisakti, kasus Semanggi, Kerusuhan Mei 1998, kasus Talangsari Lampung, Timor Leste, Papua, Aceh, Ambon dan Poso.
Namun dari semua dedikasinya Munir menjadi ancaman yang pada akhirnya ketika ia ingin melanjutkan studi di Belanda, Munir Said Thalib tewas di angkasa Eropa September 2004. Dia meninggal diracun dengan arsenik saat dalam perjalanan ke Belanda. Sosok seperti Munir yang berani dan lantang menyuarakan kebenaran merupakan sesuatu yang harus kita terapkan dalam kehidupan bernegara, karena dengan berani Melawan ketidakadilan maka artinya kita masih peduli terhadap kemanusiaan, sosok Munir yang sederhana. Munir memperjuangkan hak-hak orang-orang yang tak dapat bersuara. Beliau adalah suara bagi yang bisu dan harapan bagi yang terzalimi. Semangatnya yang menginspirasi, dedikasinya yang luar biasa dan keberaniannya dalam mengungkapkan kebenaran menjadi contoh bagi kita semua
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H