Lihat ke Halaman Asli

Rahmat Oca

Manusia yang Merugi

Apa Tuntutan di Balik International Women's Day?

Diperbarui: 9 Maret 2022   06:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Tidak akan jauh berbeda dengan orang lain, tanggal 8 maret kemarin status whatsapp, feed Instagram, tweet twitter, dan unggahan media sosial kita lainnya dipenuhi oleh pamflet International Women's Day. Bagi yang sedikit tau Bahasa Inggris, dari judul tema unggahannya saja kita sudah tau bahwa yang sedang ramai dibicarakan orang kemarin adalah perihal hari perempuan internasional. Tapi, tahukah kita apa sebenarnya dibalik peringatan hari perempuan internasional?

Untuk kita yang belum tau dibalik itu, artikel ini sepertinya akan cocok untuk mengurangi sekaligus menambah rasa penasaran kita terhadap tema ini. Mengurangi dalam arti memberikan sedikit informasi seputar Hari Perempuan Internasional, sedangkan  menambah dalam arti memunculkan ketidaktahuan baru karena akan ada banyak hal yang tidak dijelaskan secara rinci sehingga memicu rasa penasaran untuk mencari tau lebih dalam ditulisan atau sumber lainnya.

International Women's Day atau Hari Perempuan Internasional merupakan momentum peringatan sekaligus apresiasi terhadap perempuan dan kesetaraan gender. International Women's Day menjadi momen bagi orang -- orang untuk menyuarakan isu kesetaraan sekaligus menentang segala bentuk perilaku negatif terhadap perempuan. Dalam peringatan International Women's Day kita sering melihat gerakan yang dilakukan orang-orang, baik perempuan maupun laki -- laki. Mulai dari turun ke jalan dengan selebaran kepedulian terhadap perempuan, hingga diskusi khusus tentang tema ini. Yang paling sering kita dapati pula adalah penyebaran pamflet memperingati momen ini di media sosial. Jika demikian, lalu sebenarnya apa tuntutan yang paling umum dari peringatan International Women's Day?

Sudah tidak asing bagi kita mengenai isu keperempuanan menyeruak dalam diskursus sehari -- hari. Jika kita adalah pegiat media sosial, tema ini pasti akan kita dapatkan, paling kurang sesekali kita dapatkan. Berbagai organisasi, komunitas, instansi, dan perkumpulan lainnya sering menjadikan isu keperempuanan sebagai tema pembicaraan mereka.

Dalam diskusi di warung kopi pun tak jarang kita membicarakan tema ini baik secara sadar maupun tidak sadar. Isu keperempuanan juga menghiasi sejarah dunia. Barangkali semua negara di dunia menyimpan sejarah perjuangan perempuan, hingga ketokohan perempuan di zamannya. Tidak terkecuali di Indonesia, negara ini juga memiliki sejarah gerakan perempuan yang sangat penting atas kemerdekaan bangsa ini. Mungkin familiar bagi kita nama Raden Ajeng Kartini, Cut Nyak Dien, Dewi Sartika, dan nama perempuan lainnya yang merupakan beberapa tokoh kemerdekaan Indonesia. Di era sekarang ini pun banyak perempuan yang memiliki sumbangsih besar bagi bangsa ini.

Di balik besarnya sumbangsih perempuan di Indonesia, menjadi tanda tanya mengapa masih ada peringatan Hari Perempuan Internasional di Indonesia ? Jika perempuan sudah berkontribusi besar dan mendapat tempat yang istimewa, mengapa masih ada tuntutan -- tuntutan dalam peringatan ini ?

Satu poin besar dari peringatan hari perempuan internasional adalah perihal kesetaraan gender. Kesetaraan gender menjadi diskursus yang tidak ada habisnya. Permasalahan ini sudah ada sejak lama dimana perempuan mendapat tempat di belakang laki -- laki, bukan disamping atau bahkan di depannya. Lalu bentuk -- bentuk umum ketidaksetaraan gender itu seperti apa ?

Ketidaksetaraan atau biasa disebut ketidakadilan gender di kehidupan sehari -- hari terwujud dalam berbagai bentuk. Bentuk umum tersebut diantaranya berupa double burden, marginalisasi, stereotip, subordinasi, hingga violence. Yang pertama adalah double burden dimana perempuan mendapat peran ganda. Hal ini sering terjadi dalam rumah tangga dimana perempuan mencuci pakaian, membersihkan rumah, memasak, berbelanja, mengasuh anak, melayani kebutuhan suami, dan lain sebagainya sekaligus juga bekerja diluar rumah padahal diantara pekerjaan ini ada yang bisa dikerjakan bersama suami. Yang kedua adalah marginalisasi atau peminggiran akibat perbedaan jenis kelamin. Hal ini bisa terjadi misalnya saat perempuan dinilai sebagai pencari nafkah tambahan, maka pekerjaan yang dilakukannya diluar rumah dianggap sesuai stigma tersebut. Akibatnya berpengaruh pada gaji pekerja perempuan seperti guru TK, asisten rumah tangga, pegawai pabrik, dan masih banyak lagi.

Yang ketiga adalah stereotip atau pelabelan negatif terhadap perempuan. Pelabelan seperti ini, misalnya perempuan tidak rasional dan mengedepankan emosi, tidak bisa mengambil keputusan penting, dan masih banyak lagi. Yang keempat adalah subordinasi atau penomorduaan perempuan. Hal ini sering terjadi misalnya dengan memprioritaskan laki -- laki dalam jabatan padahal keduanya memiliki kapasitas yang sama, bahkan lebih. Dan yang terakhir adalah violence atau tindak kekerasan terhadap perempuan. Tindak kekerasan ini merupakan sesuatu yang tidak asing bagi kita. Banyak kasus kekerasan yang dilakukan terhadap perempuan.

Dari bentuk -- bentuk ketidakadilan gender diatas, masih sering kita temui persoalan tersebut dalam kehidupan sehari -- hari. Sebut saja tindak kekerasan terhadap perempuan. Tidak jarang di berita -- berita atau bahkan media sosial kita mendapatkan informasi mengenai kekerasan yang dilakukan terhadap perempuan. Kekerasan ini bisa berbentuk kekerasan fisik, seksual, hingga kekerasan verbal. Kekerasan terhadap perempuan merupakan dampak dari stigma negatif terhadap perempuan, misalnya perempuan lemah. Stigma ini tentunya akan memengaruhi persepsi laki -- laki sehingga bisa bertindak kasar terhadap perempuan.

Selain itu, stigma bahwa perempuan tidak bisa mengambil keputusan atau tidak dapat memimpin menjadikannya hanya sebatas bawahan bagi laki -- laki. Walaupun sudah banyak pemimpin dari kalangan perempuan, tidak jarang pula kita dapatkan orang yang menolak perempuan sebagai pemimpinnya. Di samping itu, ada pula stigma negatif yang menganggap perempuan hanya sebagai objek seksual. Biasanya stigma ini merupakan landasan awal terjadinya tindak kekerasan seksual.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline