Lihat ke Halaman Asli

Ayahku

Diperbarui: 17 Juni 2015   08:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku tidak begitu tahu benar apa alasan Ayahku untuk selalu menceritakan kampung halamannya kepadaku. Padahal kampung halamannya itu hanya tempat aku dilahirkan saja.

Sejak aku mulai usia sekolah, aku sudah dibawanya pindah ke kota yang jauh dari kampung halamannya. Kenanganku tentang kampung halaman hanya sawah, ada danau tempat aku memancing yang letaknya cukup jauh dari kampung. Itu masih tersisa dalam memori otakku. Karena dulu kalau libur sekolah aku sering ke kampung dengan atau tanpa ayah.

Setelah sekian waktu berlalu. Memori itupun telah mengendap jauh dalam ingatan masa kanak-kanakku. Saat aku mulai beranjak dewasa perlahan-lahan ayahku kembali mengingatkan semua memori itu. Bahkan mulai ditambahi dengan berbagai cerita tentang Ompung ( Kakek ) yang tidak sempat aku kenal, uwak dan famili-famili lain. Sepotong demi sepotong dia beberkan lagi sejarah moyang kami. Pertamanya aku tidak begitu antusias karena banyak hal yang lebih penting aku pikirkan. Ya...kuliahku, masa depanku. Sehinggga cerita itu tidak terlalu aku pikirkan.

Rupanya, waktu terus mendesakkan berbagai peristiwa dalam jagat kehidupan. Akupun telah tumbuh menjadi lelaki dewasa, berkeluarga, punya anak dan isteri. Walaupun tinggal di kota yang lebih jauh dari tempat kediaman ayahku, cerita tentang kampung halaman tetap menjadi bagian yang hidup saat-saat pertemuan dengan ayah. Terserah di kota tempatku tinggal atau di kota tempat aku dibesarkan.

Aku belum menyadari bahwa semuanya adalah pengajaran yang disengaja atau tidak oleh ayahku, telah melahirkan sesuatu rasa memiliki yang dalam akan kampung halamanku. Kampung halaman ayahku. Walau secara fisik aku tidak begitu terikat dengan kampung halaman itu. Buktinya, sampai sekarang aku belum begitu hapal memanggil tutur yang benar pada famili-famili di kampung. Seharusnya pada si ini aku memanggil Uda ( Paman ) tapi kalau bertemu aku panggil Abang. Sehinggga orangnya hanya tertawa dan membetulkan tuturku. Aku sering malu dengan kejadian-kejadian seperti ini.

Belum lagi soal-soal lain di seputar kehidupan na marhuta (hidup bermasyarakat) dengan segala aturan adat dan basa basinya. Aku buta sama sekali. Kadang aku ada rasa iri, bila kebetulan aku pulang dan di kampung lagi ada hajatan atau Horja. Kawan-kawan sebayaku begitu fasih bicara pada acara adat itu. Lengkap dengan segala pepatah petitihnya. Padahal dari segi pendidikan formal aku jauh di atas mereka. Lebih dalam lagi, bila aku coba masuk dalam kehidupan sehari-hari. Banyak hal yang yang kadang caranya lebih canggih dari apa yang dilakukan orang di kota. Kalau aku mendengar cerita-cerita seperti ini, aku amat takjub. Umpamanya bagaimana liku-liku di seputar pemilihan kepala desa. Asik melihat dan mendengarnya. Tidak kalah dari pencalonan dan pemilihan presiden di gedungrakyat di Jakarta sana.

Secara pribadi sering terjadi pertentangan di batinku. Untuk apa aku memikirkan kampung halamanku. Toh, aku sudah punya kehidupan baru di kota jauh dari kampung kelahiranku. Di kota aku juga bisa membangun kehidupan, punya kawan dan sahabat. Punya rumah kalau aku berduit, punya tanah, punya kebun dan punya banyak lagi.

Ayahku juga telah meninggalkan kampung halamannya. Bekerja di kota lain. Bertahun-tahun berjuang membangun untuk mendapatkan kehidupan yang mapan dan layak. Di saat semua sudah dicapainya dia kembali juga ke kampung. Bahkan acara-acara besar keluarga seperti pesta pernikahanku, kakakku dan adikku semua dilaksanakannya di kampung.

Saat acara-acara di kampung hatiku selalu bergetar ketika famili-famili memberi kata-kata petuah. Begitu hebatkah rasa persaudaraan itu? Begitu banyakkah harapan yang dibebankan di pundakku untuk menjunjung dan membawa nama keluarga besar moyangku. Wajah bisa tidak saling mengenal. Jarak bisa memisahkan ribuan kilometer. Tapi panggilan darah tidak bisa dibendung. Harapan bukanlah materi yang banyak, darah yang mengalir di tubuh tidak boleh dilupakan dimana pertama tumpah.

Itulah mungkin yang terlupakan oleh banyak pemimpin kita. Sehingga mereka begitu rakus menjarah semua milik daerah. Mereka lupakan orang-orang yang punya darah di daerah. Mereka napikan keberadaan para tetua yang telah mempertahankan jengkal demi jengkal tanah negeri ini.Saat mereka berkuasa semua boleh mereka lakukan. Katanya demi kepentingan bangsa. Padahal di benak mereka yang ada bagaimana agar semua tanah negeri ini dalam genggamannya. Mereka lupa tanah tempat darah mereka pertama tumpah.

Ayahku mungkin tidak sejauh itu memahami hal ini. Di matanya bagaimana nama keluarga tidak hilang di percaturan kehidupan berkampung. Tidak dia sadari kalau pengajaran yang dia berikan bisa ditanamkan setiap orang tua pada anaknya, kita mungkin tidak mengalami kejatuhan seperti yang terjadi saat ini. Terlalu mahal biaya yang kita keluarkan untuk menyusun buku sejarah. Yang dijejalkan pada anak-anak di sekolah tanpa pernah mereka mengerti apa itu darah, apa itu tanah kelahiran. Kita biayai anak-anak kita menuntut ilmu yang tidak kita tahu akarnya dimana. Mereka bisa menguasai semuanya. Tapi mereka tidak tahu mau berpijak dimana dengan ilmunya. Tidak tahu mau diamalkan untuk apa, untuk siapa ilmu tersebut. Karena jiwanya tumpul. Anak-anak kita menjadi anak-anak egois, terkurung dalam kehebatannya sendiri. Ibarat tanaman, daunnya lebat, buahnya banyak tapi akarnya keropos. Apa gunanya?

Aku juga memang belum tahu bentuk konkret dari rasa cintaku terhadap kampung kelahiran. Yang pasti setiap aku teringat kampungku ada rasa yang bergetar di kalbu. Ada rasa haru dan rasa sedih juga. Pengembaraan di tanah lain ini mudah-mudahan bukan mematikan suara yang selalu memanggil-manggil. Kelana ini akan mematangkan rasa cinta itu.

Dimanapun kita bisa hidup dan berpinak, jaya dan makmur dengan segala kemewahan materi. Tapi kita harus selalu mau mendengar suara darah kita. Kalau tidak kita akan selalu terpinggirkan. Manusia marginal dan urban di tanah kita sendiri.

Ayahku, aku merasa bahwa kecintaanmulah terhadap tanah kelahiran. Maka saat-saat terakhir dari hidupmu kau ingin berada di tanah kelahiranmu. Aku jadi terharu, bagaimana kau pompakan semangat dalam dirimu padahal kau juga merasa penyakitmu sudah begitu parah untuk disembuhkan.

Hari-hari terakhir menjelang pencipta mengambil milikNYA, ayahku tercinta, di hatimu masih berperang antara pulang atau tidak. Tapi kamu tidak kuasa lagi mendengar panggilan itu. Sehinggga terucap juga lewat sepotong ucapanmu, “ Oban au mulak tu huta, Amang.” (Bawa aku pulang ke kampung, Anakku). Saat ayah mengucapkan kata-kata itu, aku merasa tidak begitu ada artiyang dalam dari kata-kata tersebut. Sekarang setelah ayah benar-benar telah berpulang, kata-kata itu seolah ucapan yang diteriakkan seorang pejuang yang terluka di tengah medan perang. Dengan sebuah senyuman tersungging di bibir walau tubuh telah bersimbah darah masih sempat teriak “Merdeka”.

Ayahku, aku juga tersenyum menahan keharuanku. Aku tidak menangis. Aku tahu bukan tangisan yang kau kehendaki. Kau ingin aku juga maju ke medan laga tanpa melupakan akarmu tumbuh. Kau ingin aku tumbuh menjadi seorang yang bisa mengayomi.

Puisimu telah tiba pada baris terakhir. Tapi bukankah sudah berbait-bait kau dendangkan syairmu. Mengalun, mengoyak dan membuai hari-hari panjang yang kau lalui. Sekarang suaramu getaran yang selalu mengingatkanku bahwa kau pasti damai disana, Ayahku.

Dimuat di Harian Waspada, Medan. 25 Maret 2001.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline