Lihat ke Halaman Asli

Pertambangan Indonesia: Tersembunyi dalam Tembok Tinggi yang Dibangunnya Sendiri

Diperbarui: 24 Juni 2015   03:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Tidak ada habisnya membahas industri pertambangan nasional. Industri ini penuh dengan coretan warna. Ya, warna terang. Pertambangan, katanya, menyumbangkan puluhan triliun rupiah bagi devisa negara dari hasil ekspornya. Pertambangan, terutama bagi mereka yang berkonsentrasi pada komoditi batu bara, juga menjamin ketersediaan bahan baku bagi PLTU; tidak hanya di tingkat nasional, juga internasional.

Sayangnya, coretan itu tidak selalu terang; ada kalanya juga gelap. Sudah sering terdengar melalui acara-acara berita di televisi, menghiasi headline news surat kabar-surat kabar lokal -bahkan nasional- bahwa ekosistem lingkungan di sekitar daerah pertambangan dalam keadaan mengkhawatirkan. Rusak, tercemar limbah hasil pertambangan. Sebut saja kasus pencemaran Teluk Senunu akibat pembuangan limbah tailing PT Newmont Nusa Tenggara (PTNNT) beberapa waktu silam membuka kembali ingatan kita tentang kasus Teluk Buyat oleh PT Newmont Minahasa Raya yang sempat mencuat hampir sepuluh tahun yang lalu di Minahasa, Sulawesi Utara. Belum lagi, isu keselamatan kerja yang sepertinya kurang mendapat perhatian dari industri semacam ini. PT Freeport Indonesia tidak henti-hentinya membuat jantung kita berdegup kencang mengetahui aktivitasnya kerap kali meminta korban nyawa manusia. Setidakberharga itukah nyawa manusia dalam industri pertambangan?

Yang ingin saya sampaikan di sini adalah industri pertambangan kita berada dalam fase yang mengkhawatirkan. Tanpa bermaksud menghakimi media, pemberitaan-pemberitaan negatif media yang tidak diimbangi prestasi baik dari sektor pertambangan semakin mengukuhkan stigma buruk masyarakat yang sudah terlanjur melekat pada industri ini. Reaksi bernada negatif masyarakat muncul di mana-mana sebagai wujud penolakan aktivitas pertambangan di daerahnya. Pertengahan tahun lalu misalnya, di Jember dan Konawe Selatan-Kendari, masyarakat jelas-jelas memblokade jalan hingga memaksa aktivitas pertambangan pun dihentikan.   Satu tuntutannya. Mereka takut lingkungannya tercemar oleh limbah aktivitas yang ditinggalkan para pelaku pertambangan. Jika kondisi ini didiamkan, tinggal menunggu waktu sektor pertambangan dalam negeri gulung tikar. Tentu ini bukan akhir yang kita harapkan.

Apa yang salah dengan industri pertambangan kita? Bukankah peraturan perundang-undangan kita telah jelas mengatur kelengkapan industri yang akan bergerak di sektor ini? Juga mengatur tindakan paska penambangan yang menjamin bahwa area di sekitar pertambangan kembali pada keadaan seperti sebelum aktivitas pertambangan dilakukan? Bagaimana sebenarnya keadaan pertambangan kita?

“Bagaimana sebenarnya aktivitas pertambangan nasional?” Pertanyaan yang tepat untuk memulai sebuah diskusi singkat tentang keadaan real pertambangan kita. Masyarakat Indonesia, dengan segala keterbatasannya, adalah tipe masyarakat yang sering kali ‘menelan’ mentah-mentah informasi yang diterima. Tidak peduli darimana datangnya informasi tersebut, selama itu berkaitan dengan kemaslahatan hidupnya, mereka dapat dengan mudah mempercayainya.

Lagi-lagi, tanpa bermaksud meragukan kredibilitas siapa pun, saya tidak lekas percaya dengan berita-berita yang beredar saat ini. Tanpa disertai bukti dan pendapat otentik atau tanpa melihat kondisi aslinya, bagi saya semuanya abu-abu. Belum jelas siapa yang bisa dipercaya; media, pemerintah, atau para kontraktor tambang itu.

Sayangnya, barangkali ini salah satu akar masalahnya, industri pertambangan nasional seakan menutup diri dari dunia luar. Industri pertambangan kita bersembunyi dalam tembok yang dibangunnya sendiri. Tidak ada transparansi yang jelas tentang aktivitas yang akan, sedang, dan telah dilakukan. Mereka sibuk dengan urusannya sendiri; investasi, membuka lahan baru, eksplorasi, dan menutupnya kembali. Tidak ada yang tahu. Ekslusif, begitu kesan orang-orang saat ditanya tentang industri pertambangan.

Satu-satunya cara mengembalikan citra industri pertambangan nasional, menurut saya, bisa dimulai dengan membuka diri. Tidak ada yang harus ditutup-tutupi kan? Lantas, apa yang harus disembunyikan? Buktikan kepada masyarakat luas jika memang aktivitas pertambangan yang kalian lakukan itu aman, menguntungkan, juga ramah lingkungan. Lewat divisi Corporate Social Responsibility (CSR), tunjukkan bahwa kalian peduli dengan kesejahteraan masyarakat sekitar area pertambangan; hal yang sering kali terabaikan. Banyak masyarakat yang berpendapat bahwa industri tambang hanya mau ‘mengambil’ kekayaan alam mereka, mengabaikan mereka, kemudian pergi meninggalkan ‘ampas’ berupa lingkungan yang tercemar.

Terlebih di Indonesia, banyak industri pertambangan yang memiliki site di sekitar daerah hutan lindung atau pariwisata, seperti halnya PTNNT yang memiliki site di Batu Hijau Sumbawa Barat dengan pariwisata lautnya yang menawan. Ini berkat sekaligus bencana, menurutku. Berkat jika PTNNT mampu melakukan aktivitas pertambangan tanpa mengganggu ekosistem dan biodeversitas lautnya. Artinya hidupmu selamat. Akan tetapi, jika terbukti aktivitas pertambangan malah merusak laut Batu Hijau, tamat sudah riwayat PTNNT.

Saya percaya rakyat Indonesia tidak bodoh, tidak pula buta dan tuli. Jika sektor pertambangan mampu menunjukkan prestasi-prestasi baik sepanjang keberadaannya, bukan tidak mungkin industri ini akan menjadi besar dengan dukungan penuh dari semua orang. Saya percaya bahwa masa itu akan tiba, cepat atau lambat.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline