Kemarin Antasari Azhar mendatangi Bareskim Polri. Tidak seperti lazimnya, kali ini bekas terpidana kasus pembunuhan itu menolak memberi keterangan kepada awak media. Ingatan saya langsung tertarik pada pernyataan Kapolri Tito Karnavian pada rapat dengar pendapat antara Komisi III DPR dan Polri. Waktu itu, secara tegas Tito menyebut bukan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang dilaporkan oleh Antasari. Penerima grasi dari Presiden Jokowi itu hendak melaporkan sejumlah kejanggalan terkait barang bukti atas kasus pembunuhan Nasrudin. Yang menjadi terlapor adalah penyidik Polri, termasuk Kapolda Metrojaya M. Irawan.
Peryataan Kapolri menguak tiga pertanyaan besar bagi kita. Pertama, jika SBY tidak ada kaitannya dengan subtansi laporan Antasari, mengapa konferensi persnya malah berfokus pada pendiskreditan SBY dan Harry Tanoesudibjo? Alih-alih berfokus menjelaskan subtansi laporan, Antasari malah mengarang kisah seakan-akan dirinya dikriminalisasi. Dan inisiator di belakang tindakan kriminalisasi itu adalah SBY.
Kedua, mengapa polisi membiarkan konferensi dusta Antasari yang nyata-nyata menerbitkan kegaduhan? Mengapa polisi tidak meluruskan opini publik yang salah; bahwa seakan Antasari telah melaporkan SBY? Bukankah sejak November 2016 silam, Kapolri telah menghimbau bahkan bertegas-tegas agar segenap elemen bangsa tidak membuat kegaduhan baru? Mestinya, ketika opini liar membuncah, polri langsung bertindak cepat membenarkan persepsi publik yang keliru.
Ketiga, di manakah kritisme media massa? Sebagai pilar demokrasi ke-5 dan institusi yang berperan mencerdaskan masyarakat, awak media malah turut membangun opini yang salah. Alih-alih menyiarkan subtansi laporan Antasari, mereka malah memperkuat polemik kriminalisasi itu. Tragisnya, tidak satu media mainstrem pun tergerak untuk menggali dan mengangkat subtansi laporan Antasari; atau minimal mewawancarai pejabat Bareskim Polri. Padahal, mereka terikat kode etik jurnalistik; chek and richek juga cover both sides. Inikah yang disebut jurnalisme cerdas? Lalu apa bedanya media mainstream dengan portal berita online yang gandrung dicap hoax oleh pemerintah itu?
Wajar jika publik bertanya-tanya. Sandiwara apa yang dimainkan Antasari, polisi dan media mainstream? Mengapa kebenaran sengaja disembunyikan? Mengapa semuanya baru dikuak ketika Kapolri secara resmi ditanya dalam sidang RDP dengan Komisi III DPR?
Jangan salahkan publik, bila mempersepsikan laporan Antasari sebagai instrumen untuk kepentingan ambisi kekuasan. Antasari adalah pion elit penguasa untuk menjegal langkah Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dalam Pilkada DKI Jakarta. Karena AHY relatif bersih, maka SBY dihajar habis-habisan. Harapannya terjadi efek pantul yang melorotkan elektabilitas putera SBY itu. Semuanya semata-mata karena elit penguasa kuatir jagoannya akan terdepak. Sehingga mereka terpaksa melakukan cara keji –memperalat bekas narapidana kasus pembunuhan, meminjam tangan aparat hukum, dan berkongsi dengan media mainstream.
Skenario kesaksian Antasari bukan pendidikan politik yang baik bagi publik. Dusta yang coba dibungkus kebenaran hukum ini telah mencederai demokrasi yang sudah puluhan tahun dibangun para pendiri bangsa. Skenario ini bukan hanya memalukan, tetapi mengonfirmasi politik adalah dunia yang bengis, kotor dan bar-bar. Rakyat pun apatis. 1.655.037 pemilih yang memutuskan golput pada Pilkada DKI Jakarta menjadi bukti. Pemilih Jakarta pesimis dengan kontestasi politik tempo hari. Jika untuk menang saja sudah menginjak-injak moralitas, apalagi ketika berkuasa?
pernah dimuat di politiktoday.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H